
Masih
seputar suasana kelabu di hari-hari wafatnya Sukarno, Sang Proklamator.
Ini tentang bagaimana para istri dan mantan istri presiden yang
gallant itu
bereaksi, bersikap, dan bertutur ihwal kepergian lelaki yang begitu
dipuja. Ternyata, sekalipun memiliki perasaan yang sama dalam hal cinta,
tetapi berbeda-beda ekspresi mereka menerima kematian mantan suami atau
suami mereka.
Inggit Garnasih, istri kedua Sukarno yang dinikahi tahun 1923, adalah
wanita yang dengan setia mengikuti dan mendukung perjuangan Sukarno
sejak usia 21 tahun. Ia bahkan turut serta dalam setiap pengasingan Bung
Karno, mulai dari Ende sampai Bengkulu. Ia lahir tahun 1888, lebih tua
12 tahun dari Bung Karno. Itu artinya, saat “nKus” panggilan kesayangan
Inggit kepada Bung Karno, wafat, usia Inggit 82 tahun.
Nah, di usia yang
sepuh, dan dalam kondisi sakit… ia
menerima berita duka pada hari Minggu, 21 Juni 1970. Ia tergopoh-gopoh
berangkat dari Bandung menuju Jakarta, ditemani putri angkatnya, Ratna
Juami. Dalam batin, ia harus memberi penghormatan kepada mantan suami
yang telah ia antar ke pintu gerbang kemerdekaan.
Setiba di Wisma Yaso, di tengah lautan massa yang berjubel, berbaris,
antre hendak memberi penghormatan terakhir, Inggit –tentu saja–
mendapat keistimewaan untuk segera diantar mendekat ke peti jenazah. Di
dekat tubuh tak bernyawa di hadapannya, Inggit berucap,
“Ngkus, geuning Ngkus tehmiheulan, ku Inggit di doakeun…”
(Ngkus, kiranya Ngkus mendahului, Inggit doakan….). Sampai di situ,
suaranya terputus, kerongkongan terasa tersumbat. Badannya yang sudah
renta dan lemah, terhuyung diguncang perasaan sedih. Sontak, Ibu
Wardoyo, kakak kandung Bung Karno (nama aslinya Sukarmini) memapah tubuh
tua Inggit.

Lain
lagi Fatmawati, istri ketiga Bung Karno yang pergi meninggalkan Istana
setelah Bung Karno menikahi Hartini. Ia adalah sosok perempuan yang
teguh pendirian. Ia sudah bertekad tidak akan datang ke Wisma Yaso.
Karenanya, begitu mengetahui ayah dari lima putra-putrinya telah
meninggal, ia segera memohon kepada Presiden Soeharto agar jenazah
suaminya disemayamkan di rumahnya di Jl. Sriwijaya, Kebayoran Baru,
meski sebentar. Sayang, Soeharto menolak permintaan Fatmawati.
Hati Fatma benar-benar galau. Antara jerit hati ingin melihat wajah
suami untuk terakhir kali, dengan keteguhan prinsip. Bahkan,
putra-putrinya pun tidak ada yang bisa mempengaruhi keputusan Fatma
untuk tetap tinggal di rumah. Meski, atas kesepakatan semua pihak, peti
jenazah tidak ditutup hingga batas akhir jam 24.00, dengan harapan,
Fatma datang pada detik-detik terakhir. Apa hendak dikata, Fatma tak
juga tampak muka.
Pengganti kehadiran Fatma, adalah sebuah karangan bunga dari si
empunya nama. Dengan kalimat pendek dan puitis, Fatma menuliskan pesan,
“Tjintamu yang menjiwai hati rakyat, tjinta Fat”… Sungguh mendebarkan kalimat itu, bagi siapa pun yang membacanya.

Bagaimana
pula dengan Hartini? Ah… melihat Hartini, hanya duka dan duka sepanjang
hari. Wajah cantik keibuan, mengguratkan kelembutan. Sinar matanya
penuh kasih sayang… Ia tak henti menangis. Hartini, salah satu istri
yang begitu dicintai Sukarno, sehingga dalam testamennya, Sukarno
menghendaki agar jika mati, Hartini dimakamkan di dekat makamnya. Ia
ingin selalu dekat Hartini, wanita lembut keibuan yang dinikahinya
Januari 1952.
Kebetulan, Hartini pula yang paling intens merawat dan menemani Bung
Karno hingga akhir hayatnya. Sampai-sampai, Rachmawati, salah satu putri
Bung Karno yang kebetulan juga paling intens menemani bapaknya di
hari-hari akhir kehidupannya, memuji Hartini sebagai istri yang sangat
setia dan baik hati. Rachma yang semula berperasaan tidak menyukai
Hartini –dan ini wajar saja– menjadi dekat dan akrab dengan Hartini.
Semula, Rachma hanya berpura-pura baik dengan Hartini di depan
bapaknya. Sebab, Rachma tahu betul, bapaknya begitu senang jika ada
Hartini di dekatnya. Bapaknya begitu mencintai Hartini. Dan… dengan
kesabaran, ketelatenan, dan perhatian tulus Hartini kepada Bung Karno di
hari-hari akhir hidupnya, sontak membuka mata hati Rachma tentang sosok
Hartini. Sejak itulah tumbuh keakraban dan kecintaan Rachma kepada Ibu
Hartini.

Lain Inggit, beda Fatma, dan tak sama pula sikap Hartini… adalah ekspresi
imported wife,
si jelita Ratna Sari Dewi, wanita Jepang benama asli Naoko Nemoto.
Wanita kelahiran tahun 1940 yang dinikahi Bung Karno 3 Maret 1962 itu
memang dikenal lugas. Ia datang ke Jakarta bersama Kartika Sari (4 th)
pada tanggal 20 Juni 1970 pukul 20.20 malam. Mengetahui suaminya lunglai
tak berdaya, dirawat dalam penjagaan ketat tak manusiawi.
Hati Dewi teriris, terlebih bila mengingat anaknya sama sekali belum
pernah berjumpa dengan ayahnya. Dalam catatan, Dewi pernah berkunjung ke
Wisma Yaso saat hamil, tapi tentara melarangnya masuk. Dewi marah,
karena kesulitan yang dialaminya. Ia, sebagai istri sah Sukarno, tidak
bisa leluasa menengok apalagi menemani hari-hari Sukarno yang sedang
bergulat dengan maut.
Latar belakang budaya yang berbeda, membuat Dewi kelihatan sangat
vokal pada zamannya. Ia pernah marah besar kepada Soeharto dengan
melontarkan ucapan pedas melalui surat terbuka tanggal 16 April 1970.
Begini sebagian isi surat itu:
“Tuan Soeharto, Bung Karno itu saya tahu benar-benar sangat
mencintai Indonesi dan rakyatnya. Sebagai bukti bahwa meskipun ada
lawannya yang berkali-kali menteror beliau, beliau pun masih mau
meberikan pengampunan kalau yang bersangkutan itu mau mengakui
kesalahannya. Dibanding dengan Bung Karno, maka ternyata di balik
senyuman Tuan itu, Tuan mempunyai hati yang kejam. Tuan telah membiarkan
rakyat, yaitu orang-orang PKI dibantai. Kalau saya boleh bertanya,
‘Apakah Tuan tidak mampu dan tidak mungkin mencegahnya dan melindungi
mereka agar tidak terjadi pertumpahan darah?”
Bukan hanya itu. Penampilan Dewi yang masih tampak begitu cantik di suasana duka, seperti menjadi
icon.
Terlebih dengan keterbukaan sikapnya. Seperti saat dengan penuh emosi
ia melabrak Harjatie, istri Bung Karno yang telah diceraikan itu,
sebagai seorang istri yang menyia-nyiakan Bung Karno, menuduh Harjatie
meninggalkan Sukarno di masa-masa sulit. Harjatie pun menangis, dan
bergerak meninggalkan tempat itu.
Begitulah, empat dari (setidaknya) delapan wanita yang pernah
diperistri Bung Karno. Sama dalam mencinta, beda dalam mengekspresikan
duka.
(roso daras)