Selasa, 24 Juli 2012

ROSO

Bung Karno Sang Pertapa

Bung Karno sang pertapa? Hendaknya jangan dilihat sebagai sosok begawan, pendeta, atau kaum pertapa zaman Majapahit. Jika kita mendengar legenda, ephos, atau bahkan mitos tentang kakek-moyang kita, istilah “bertapa” sangatlah lazim. Sebuah kegiatan meditasi di tempat nun sunyi. Bayangan kita terlempar pada sesosok manusia duduk bersila di bawah pohon raksasa, dengan rambut menjuntai, duduk terpekur mata terpejam berhari-hari, berpuluh-puluh hari, bahkan berbulan-bulan….
Ihwal aktivitas bertapa, sempat menggelitik tanya, “Bagaimana mungkin manusia bisa tetap hidup tanpa makan-minum berhari-hari?” Saya pribadi baru menemukan jawabnya setelah mengikuti kelas “meditasi usada” Merta Ada sekitar selusin tahun yang lalu. Memang agak susah dicerna awam, terlebih bagi yang belum pernah mengikuti kelas meditasi.
Saat manusia bermeditasi, aktivitas ragawi mati total. Semua fungsi diambil-alih oleh “kesadaran”, buah konsentrasi penuh yang menggumpal menjadi sebuah kekuatan nyata di luar kemampuan fisik. Stop dulu!!! Saya berpikir, kalimat barusan sangat sulit dicerna. Hingga di sini, saya sempat break menarikan jari-jemari di tuts laptop. Mencoba mencari bahasa yang mudah dicerna, untuk menjelaskan bagaimana proses “moksa”, proses melepaskan kesadaran dari raga.
OK. Baiklah. Saya memutuskan untuk tidak memperpanjang penjelasan tentang proses bertapa, bermeditasi. Point yang ingin saya sampaikan adalah, bahwa di saat meditasi, raga memang tidak membutuhkan asupan nasi atau air. Partikel-partikel yang terkandung di dalam udara (oksigen), sangat kaya. Ia masuk melalui pori-pori dalam kulit, terserap ke sel-sel darah, dan mengalir menjadi energi.
Kapan terakhir kali Anda melihat butiran embun di dedaunan? Tanpa hujan, butiran embun tercipta, mewujud menjadi air dengan segala khasiatnya. Bersamaan terbitnya sang surya, embun pun menguap (atau terserap daun?). Itu ilustrasi kongkrit, betapa tubuh seorang pertapa, juga mendapatkan embun yang merausk ke raganya, dan menjadikan energi yang dibutuhkan bagi proses metabolisme tubuh, sehingga tahan tidak makan, tidak minum berhari-hari, berpuluh-puluh hari….
Sukarno adalah salah satu “kakek-moyang” bagi kita di generasi kini. Tentu menjadi tidak aneh jika dia melakukan meditasi, bertapa di tempat-tempat sunyi. Ihwal aktivitasnya ini, suatu hari Bung Karno pernah mengatakan, bahwa yang dia lakukan sama sekali tidak ada hubungannya dengan klenik. Sama sekali bukan aktivitas mistik. “Itu (meditasi) adalah bagian dari kehidupan manusia yang ranahnya ada di dalam hati. Yang tentu saj tidak terpisahkan dari kehidupan dan akal yang ada.”
Bertapa, bermeditasi, adalah olah batin, olah rasa, olah hati. Aa Gym menggatakan “manajemen qolbu”. Di luar kepercayaan atau stigma yang mendampingkan aktivitas bertapa dengan mencari kekuatan supranatural, maka bisa ditegaskan di sini, bahwa satu hal pasti, dengan bermeditasi, maka jiwa, hati, perasaan seseorang jauh lebih tertata. Wujudnya bisa menjadi maha bijaksana, pandai mengendalikan emosi atau perasaan.
Sang pertapa, akan memiliki kemampuan me-manage sebuah perisitwa buruk dalam satu genggaman. Di sana ada menyatu antara peristiwa buruk, sebab-akibat perisitwa itu terjadi, dampak dari peristiwa buruk yang mungkin terjadi, serta solusi atau kebijakan yang harus diambil. Nah, keseluruhan tadi, tertangkap dalam kesadaran seketika.
Contoh mudah… saat kita mengendari sepeda motor atau mobil. Tiba-tiba terjadi insiden (entah menabrak, entah ditabrak), nah bersamaan dengan terjadinya perisitiwa tadi, muncul kesadaran, bahwa yang baru saja terjadi adalah sebuah kecelakaan. Kita tidak menghendaki, si korban atau pelaku juga tidak menghendaki. Menyikapi dengan emosi, marah, kecewa, cemas, sama sekali bukan jalan keluar. Sebaliknya, jika kita menabrak, kita harus minta maaf dan bertanggung jawab. Jika kita yang ditabrak, sebaik-baiknya sikap adalah memaafkannya. Dan… berlalulah. Sebab, marah-marah tidak akan memperbaiki kerusakan, sebaliknya justru bikin lalu lintas tambah macet, lebih-lebih jika sampai berkelahi, maka kita bisa mencelakai orang lain, atau kita yang celaka. Jadi, so simple bukan? Itulah sebagian kecil dari cara berpikir alumni kelas meditasi… (ehemmm)….
Dalam konteks dahulu kala, orang bermeditasi di tengah hutan, jauh dari keramaian. Dalam konteks kekinian, masih ada yang melakukannya di tengah hutan, di tepi sungai jauh dari keramaian, tetapi ada juga yang dilakukan di kelas-kelas ber-AC, di dalam tempat peribadatan (misalnya berdzikir di masjid), dan aneka cara lain. Tetapi esensinya adalah “olah batin”, manajemen qolbu.
Jadi, mari kita bertapa…. (roso daras)

Menguak Kabut G 30/S/PKI

Achadi Menguak Kabut G30S

Mohammad Achadi, nama yang sangat lekat buat saya pribadi. Bukan saja karena dia Sukarnois, lebih dari itu, dia adalah pelaku sejarah. Pernah begitu dekat dengan Bung Karno. Bahkan pernah menjadi “pembantu”nya dalam posisi sebagai Menteri Transmigrasi dan Koperasi Kabinet Dwikora yang Disempurnakan. Di luar itu semua, ada satu pekerjaan penulisan buku tentang dia yang belum saya selesaikan.
Sebagai menteri kabinet terakhir Bung Karno, sekaligus saksi hidup jatuhnya Bung Karno, tentu saja Achadi tahu banyak tentang peristiwa yang sekarang kita kenal dengan sebutan G30S (Gerakan 30 September). Achadi sendiri menyebutnya Gestok (Gerakan Satu Oktober). Ya, baik 30 September, atau 1 Oktober, keduanya terjadi di tahun yang sama, 1965, yang berepilog, runtuhnya rezim Sukarno dan naiknya rezim Soeharto.
Walhasil, jika kemudian Achadi menulis buku “Kabut G30S, Menguak Peran CIA, M16, dan KGB”, menjadi begitu berarti. Persis seperti yang berulang-kali Achadi kemukakan dalam banyak kesempatan saya bertemu dengannya, bahwa dalang G30S itu bukan hanya CIA, tetapi juga KGB. Awalnya, sungguh sebuah statemen yang mengagetkan.
Achadi membeberkan secara jelas, dilengkapi fakta pendukung yang sungguh menarik. Antara lain kesaksian Achadi yang ketika berada di dalam tahanan (Orde Baru), bertemu dengan tokoh-tokoh PKI, maupun tokoh-tokoh yang diindikasikan terlibat G30S. Mereka antara lain Jenderal Supardjo (Wakil Pemimpin Senko/Sentral Komando G30S), Letkol Untung (Pemimpin Senko G30S), Jenderal Sabur (Komandan Cakra Birawa) dan Pono (Biro Khusus PKI).
Kesaksian-kesaksian tersebut kemudian terangkai menjadi sebuah fakta baru, yang sejatinya lebih bersifat memperkuat dari fakta-fakta yang sudah lama terbongkar. Antara lain, bahwa Bung Karno sama sekali tidak terlibat baik langsung maupun tak langsung dengan G30S, bahwa ada keterlibatan CIA, M16, dan KGB di dalam tragedi tersebut, bahwa Soeharto mengetahui akan adanya pergerakan malam 30 September 1965, bahwa Jenderal A. Yani kepada Bung Karno pernah membenarkan tentang adanya “Dewan Jenderal”, dan masih banyak fakta lain.
Buku ini juga mencantumkan rencana CIA terhadap penggulingan Sukarno, yang secara intensif tertuang dalam dokumen penggulingan Sukarno periode 1964-1968. Sementara itu, agen-agen rahasia Inggris (M16), dalam dokumen yang juga dicantumkan oleh Achadi, mulai beraksi melakukan kegiatan spionase penggulingan Sukarno secara intensif antara tahun 1963-1966.
Singkat kalimat, Achadi, pria kelahiran Kutoarjo 14 Juni 1931 itu, dalam kesepuhannya masih gigih menguak fakta, menguak kebenaran tentang seorang manusia bernama Sukarno. Ihwal alasan di balik itu, tentu hanya Tuhan dan Achadi yang tahu. Hanya, suatu hari Achadi pernah berkata kepada saya, “Percayalah, antek Soeharto masih banyak. Dan selama itu pula, upaya mendiskreditkan Bung Karno juga tidak akan pernah selesai. Jadi, kita juga tidak boleh surut menyuarakan kebenaran tentang Sukarno.” (roso daras)

ROSO DARAS

Tentang Buku Ketiga, Bung Karno vs Kartosoewirjo

Di tengah kepenatan fisik dan otak, izinkan saya mengabarkan, keseluruhan naskah buku ketiga sudah selesai dan terkirim ke penerbit Imania. Buku ketiga, berbeda dengan dua buku terdahulu. Jika buku pertama dan kedua, menggunakan judul yang sama “Bung Karno, the Other Stories, Serpihan Sejarah yang Tercecer” (buku 1 dan 2), maka yang ketiga, atas kesepakatan dengan penerbit, diambil satu tema besar. Atas kesepakatan pula, di buku ketiga, mengangkat judul “Baratayudha, Bung Karno vs Kartosoewirjo”, disambung judul serial “Serpihan Sejarah yang Tercecer, buku ke-3.
Sesuai tema besar, maka ulasan tentang perseteruan politik antara Bung Karno dan Kartosoewirjo, mendapat porsi yang cukup besar. Selain memang unik, juga terbilang dramatis. Dua sahabat yang sempat belajar dan indekos bersama di kediaman HOS Cokroaminoto di Surabaya, pada akhirnya harus berseberangan pandang. Bung Karno sebagai Presiden, menetapkan Pancasila sebagai ideologi negara. Sementara itu, SM Kartosoewirjo memberontak dan memproklamasikan Negara Islam Indonesia (NII).
Apa hendak dikata, dalam perspektif kenegaraan, tindakan Kartosoewirjo adalalah satu bentuk makar. Karenanya, Pemerintah RI berkewajiban menumpasnya. Pasukan TNI pun melakukan perlawanan dan usaha penumpasan kaum pemberontak DI/TII ini hingga ke akar-akarnya. Keselurhan operasi ini menelan waktu tak kurang dari lima tahun.
Selama itu pula, DI/TII yang didukung aksi intelijen Amerika Serikat, mendapat sokongan senjata, peralatan komunikasi canggih, dan… tentu saja guyuran dolar. Sejatinya, pemberontakan yang disponsori asing, bukanlah yang pertama. Bahkan dalam bentang sejarah kita, hampir semua aksi politik yang berujung pada suksesi kepemimpinan nasional, tak pernah luput dari pengaruh dan peran asing.
Orde Baru berhasil menumbangkan pemerintahan Sukarno, tak lepas dari peran aktif CIA. Gelombang demonstran yang didukung Angkatan Darat, adalah bagian dari skenario besar menumbangkan “singa Asia” ketika itu, Sukarno. Negeri-negeri Barat sangat geram dengan Bung Karno, yang berhasil menggalang kekuatan Asia-Afrika, bahkan sedia mencetuskan CONEFO (Conference of New Emerging Forces). Jika itu terwujud, di dunia ini akan bercokol dua organisasi negara-negara.
PBB yang dikritik habis oleh Bung Karno karena tak bisa melepaskan diri dari hegemoni super power, dilawan Sukarno dengan menggalang kekuatan-kekuatan baru, dari negara-negara yang baru melepaskan diri dari aksi kolonialisme (penjahan). Spirit melawan negara maju yang hendak mencengkeramkan kekuasaannya kembali melalui proyek-proyek ekonomi, dilawan Bung Karno dengan lugasnya.
Bukan hanya itu. Lagi-lagi, asing pun berperan besar dalam menumbangkan Orde Baru, manakala Soeharto mulai kehilangan kendali atas kekuasaannya. Ditambah, kecenderungan korupsi serta praktek-praktek nepotisme yang berkembang di luar batas kewajaran. Sekali dongkel, dengan didahului prahara badai krisis moneter, tumbanglah rezim Orde Baru.
Kembali ke topik buku. Sebagai Sukarnois, tentu saja tulisan itu beranjak dari perspektif yang tentu saja bertentangan dengan perspektif kelompok ekstrim kanan yang menghendaki Indonesia menjadi negara Islam. Rasanya ini tidak keliru, sepanjang NKRI masih berstatus negara republik dengan landasan ideologi Pancasila. Tentu lain soal seandainya pemerintah dan parlemen menyepakati perubahan ideologi dari Pancasila ke Islam.
Akan tetapi, sepanjang NKRI konsisten dengan Pancasila sebagai ideologi negara, maka bukan saja konsep negara Islam tidak dibenarkan secara konstitusi, juga upaya-upaya ideolog lain, seperti komunis, misalnya, juga tak akan pernah menjadi gerakan legal.
Materi tentang Bung Karno vs Kartosoewirjo, dilengkapi pula dengan sejumlah naskah-naskah pendek sebagai pelengkap sekaligus penguat. Selain itu, penulis juga menyajikan pidato Bung Karno pada 1 Juni 1945 yang kini kita peringati sebagai hari kelahiran Pancasila. Ini menjadi relevan, agar audiens memahami bagaimana para founding father menyepakati ideologi negara kita.
Yang tak kalah menarik, saya sajikan pula sebanyak 12 surat-surat Islam Bung Karno dari Ende. Ini adalah fase Bung Karno mendalami Islam, dan belajar bersama Ahmad Hassan, yang ketika itu berada di Bandung. Surat-menyurat Ende-Bandung itu, tidak melulu sebagai sajian surat belaka. Penulis melengkapinya dengan pengantar yang cukup panjang, untuk lebih memperkenalkan sosok A. Hassan, serta bagaimana riwayat perkenalan Bung Karno dan A. Hassan.
Pada tiap-tiap akhir surat, penulis membuat catatan-catatan. Ada yang berupa komen atas surat tersebut, ada juga yang merupakan upaya memperkaya literasi, sehingga audiens bisa lebih gamblang mencerna surat-surat Bung Karno, serta lebih menghayati suasana kebatinan maupun latar belakang lahirnya surat-surat tersebut.
Dibanding buku pertama yang 200 halaman lebih, dan buku kedua yang lebih tipis sedikit, maka buku ketiga ini diperkirakan mencapai ketebalan lebih dari 260 halaman. Sekalipun begitu, penerbit telah mengkalkulasi sedemikian rupa, sehingga tidak akan memberatkan kocek peminat buku ini, akibat harga yang tinggi. Dari konfirmasi sementara, buku ketiga ini akan luncur sekitar bulan Oktober 2011. Mohon doa restu agar segala sesuatunya berjalan lancar.  (roso daras)

SEE BK

Berkat Bakiak, Bertemu Bung Karno

Bung Karno dan Jenderal Sudirman. Dua nama besar dalam sejarah bangsa kita. Keduanya kental dengan semangat kebangsaan. Beda usia mereka kurang lebih 15 tahun. Bung Karno lahir tahun 1901, sementara Sudirman lahir tahun 1916.
Sependek usia mereka terpaut, sejauh itu pula keduanya memiliki perbedaan jam terbang dalam kancah pergerakan kemerdekaan. Ini terbukti, saat Bung Karno masuk-keluar penjara, Sudirman baru saja mengenal organisasi kepanduan milik Muhammadiyah, Hizboel Wathan (HW) di Cilacap, kota di mana ia dibesarkan.
Sudirman yang kelahiran Rembang itu, memang dibesarkan di Cilacap, wilayah Karesidenan Banyumas. Di sini pula ia aktif dalam organisasi kepanduan. Digembleng fisik, mental dan rohaninya, serta kepedulian sosial. Khas semangat pandu. Ditambah paham Kemuhammadiyahan, membuat ia menjadi seorang pandu yang soleh.
O ya, satu hal lagi… ini lumayan penting… sebagai seorang remaja, ia juga gemar berolahraga. Salah satunya, sepakbola. Sudirman bergabung dengan klub sepakbola Cilacap yang cukup disegani ketika itu. Nama kesebelasannya, “Banteng Muda”. Sudirman-lah yang berperan sebagai central-defender sekaligus penyandang ban kapten.
Tiba pada suatu saat, Sudirman harus berhenti sekolah, karena HIS Taman Siswa tempat ia sekolah, ditutup pemerintah Hindia Belanda. Oleh gurunya, dia disarankan masuk ke MULO Wiworotomo, sekolah yang didirikan oleh R. Sumoyo Kusumo yang termasuk pendiri Boedi Oetomo. Nah, di sekolah inilah bibit-bibit nasionalisme Sudirman muda tumbuh subur.
Selain R. Sumoyo, masih ada dua guru lagi yang berpengaruh bagi Sudirman. Mereka adalah R. Suwarjo TIrtosupono, alumni sekolah militer Breda, Belanda yang tidak bersedia masuk KNIL dan lebih memilih aktif di pergerakan. Serta satu guru lainnya, R. Moh. Kholil, tokoh Muhammadiyah Cilacap.
Nah, dari mereka bertiga pula, Sudirman tahu, ihwal rencana kedatangan Bung Karno ke Cilacap, untuk berpidato dalam sebuah forum pemuda. Benar, Bung Karno memiliki jaringan pergerakan hampir di semua daerah, tak terkecuali di Cilacap.
Syahdan, selepas dari penjara Sukamiskin tahun 1931, Bung Karno dan Gatot Mangkupraja melakukan perjalanan darat ke Jawa Tengah dan Yogyakarta. Dalam kesempatan itulah Bung Karno singgah di berbagai kota yang dilaluinya, antara lain Cilacap.
Inilah momentum untuk pertama kalinya, Sudirman “bertemu” Bung Karno, tepatnya “melihat” Bung Karno secara langsung, dan mendengarkan orasinya. Penggalan sejarah ini cukup menarik, atau tepatnya unik. Sebab, Sudirman tidak serta merta bisa masuk ke arena perkumpulan di mana Bung Karno akan berpidato.
Soalnya tak lain, karena usia Sudirman yang tergolong masih anak-anak (sekitar 15 tahun). Alkisah, saat dia hendak masuk ke gedung pertemuan, petugas keamanan melarang, dan menyuruhnya pulang, karena dinilai belum cukup umur.
Keinginan yang menggebu untuk bisa mendengarkan pidato Bung Karno, membuat Sudirman tak menyerah. Ia pulang ke rumah, melepas celana pendek dan mengambil celana panjang bapaknya. Bukan itu saja, ia juga mengganti sandal dengan bakiak tinggi. Nah, dengan celana panjang, plus bakiak tinggi, tampilan Sudirman memang tampak lebih dewasa.
Walhasil, ketika dia kembali ke gedung pertemuan, petugas jaga tidak lagi melarang, dan membiarkan Sudirman masuk dan diizinkan mengikuti ceramah Bung Karno. Sudiran pun tenggelam di tengah lautan pemuda Cilacap, tenggelam di tengah samudera kata-kata membara Bung Karno. Jiwa patriot itu pun makin menggumpal. (roso daras)

Dokumentasi BK

Foto-Foto Lawas Bung Karno (yang Jarang Dilihat Orang)

Bulan Juni dinyatakan sebagai bulan Pancasila, karena hari lahir Pancasila adalah pada tanggal 1 Juni. Orang yang berperan besar dengan kelahiran dasar negara itu adalah Presiden RI pertama, Soekarno. Bagi anda yang mengagumi Soekarno (kalau saya pribadi sih biasa-biasa saja), saya mendapat kiriman dari sebuah milis foto-foto lawas Bung Karno yang jarang dilihat orang. Nah, saya bagikan foto ini agar dapat dinikmati khalayak. Sayang sekali foto ini hanya berbicara peristiwa, namun tidak ada informasi kapan peristiwa tesrebut berlangsung. Bila melihat foto-foto itu memang benar jika Soekarno adalah Orang Besar yang pernah hidup di zamannya.
1. Bung Karno berpidato di depan kongres kaum buruh

2. Bung Karno mencium putrinya. Hmm… siapa yang diciumnya itu? Apakah Sukmawati? Kalau yang paling kiri jelas itu Megawati. Megawati cantik sekali waktu masih gadis. Semua anak Bung Karno memang cantik-cantik dan tampan.

3. Bung Karno dan Presiden AS yang terkenal, John F. Kennedy

4. Masih dengan John F. Kennedy, di Washington

5. Bung Karno dengan bintang Hollywood. Marylin Monroe kah?

6. Kunjungan ke Bandung dengan istrinya Bu Fatwamati dan seorang tamu asing. Siapa dia? (sepertiya dari Srilanka/India)

7. Bung Karno, istri, dan anaknya. Guntur? Guruh?

8. Bung Karno memperoleh gelar kehormatan dari sebuah Universitas di luar negeri. Universitas apakah itu?

9. Bung Karno dan Kaisar Jepang, Hirohito

10. Bung Karno, disamping seorang pemimpin besar, dia rupanya seorang “pemuja” wanita. Istrinya lebih dari satu. Ini adalah pernikahannya dengan wanita Jepang, Ratna Sari Dewi.

11. Soekarno tua. Inilah wajah Soekarno tanpa peci khasnya.

12. Pemakaman Soekarno di Blitar

ITB & BK

Foto-foto Peresmian ITB Tahun 1959 oleh Bung Karno

Lima puluh tahun yang lalu, tepatnya tanggal 2 Maret 1959 Presiden Soekarno datang ke kampus Ganesha untuk meresmikan ITB. Saya mendapatkan koleksi foto-foto peresmian ITB dari TU STEI. Foto-foto itu dipindai dari album milik Proffesor T.M. Soelaiman, salah satu guru besar di Teknik Elektro ITB.
Berikut beberapa foto yang saya tampilkan di sini, sekadar mengenang nostalgia bagi pelaku sejarah ITB yang masih hidup hingga saat ini.
1. Barisan mahasiswa siap-siap menyambut kedatangan Presiden Soekarno. Mahasiswa berdiri di jalan utama kampus (depan lorong menuju LFM).
5
2. Presiden Soekarno datang dengan mobil sedan. Bung Karno memakai payung sendiri dan duduk agak tinggi.
10
3. Presiden Soekarno dan Rektor ITB saat itu berjalan dari pintu gerbang menuju lapangan bola.
16
4. Mahasiswa berbagai Departemen dan Fakultas berbaris rapih di pinggir lapangan bola. Di tengah-tengah tampak prasasti yang akan ditandatangani Soerkarno masih ditutup kain putih.
22
5. Para dosen dan istri dosen duduk rapih di pinggir lapangan
27
6. Tampak juga para guru besar duduk dengan takzim.
31
7. Mahasiswa berpakaian adat/nasional menuju meja protokler.
33
43
45
8. Bung Karno berpidato tanpa teks sambil bernostalgia menceritkan masa kuliahnya dulu di kampus TH (sekarang ITB).
49
9. Gaya Bung Karno berpidato memang menarik perhatian. Dia seorang orator yang ulung.
56
10. Rektor dan Bung Karno membuka prasasti
59
64
Sekarang prasasti atau tugu ini berada tepat di tengah kampus (antara LabTek V dan LabTek VIII). Di kemudian hari mahasiswa menyebutnya sebagai Tugu Soekarno.
11. Setelah peresmian, Bung Karno berjalan menyusuri lorong Gedung Teknik Kimia (kalau nggak salah). Siapa tuh ya yang berjalan membawa nampan di depan? Berani benar dia mendahului presiden, he..he.
65
12. Mahasiswa bubaran seusuai menghadiri acara peresmian.
74
13. Berjalan keluar pintu gerbang kampus. Perhatikan bunga bougenvile di pintu gerbang itu masih hidup merambah hingga saat ini:
73
14. Gaya mahasiswa ITB zaman baheula berpose. Sekarang tentu mereka sudah aki-aki /nini-nini atau mungkin ada yang sudah dipanggil oleh Yang Maha Kuasa.
75
76

BK

Bung Karno Sang Proklamator, Sang Pemersatu bangsa, Sang Penggali Pancasila. Berikut sedikit kisah mengenai saat terakhir masa hidup beliau dari berbagai sumber tidak banyak anak bangsa mengetahui.  Bung Karno, di akhir hayatnya sangat nista. Ia dinista oleh penguasa ketika itu. Ia sakit, dan tidak mendapat perawatan yang semestinya bagi seorang Proklamator Kemerdekaan Republik Indonesia sekaligus tokoh pemersatu bangsa. Bahkan untuk sekadar bisa menghirup udara Jakarta (dari pengasingannya di Bogor), ia harus menulis surat berkali-kali kepada Soeharto.
Soekarno sakit Kisah tragis Bung Karno
Foto eksklusif Bung Karno terbaring sakit, rapuh.
Mengenang hari-hari terakhir Bung Karno, saya sengaja menuis kisah sedih yang dipaparkan Reni Nuryanti dalam bukunya Tragedi Sukarno, Dari Kudeta Sampai Kematiannya. Harapannya, kita semua bisa berkaca dari sejarah. Detail kisah mengharu biru, dari praktik-praktik biadab aparat militer ketika itu kepada Bung Karno selama hidup dalam “kerangkeng” Orde Baru di Wisma Yaso, cepat atau lambat akan tersebar. Hari-hari terakhir Bung Karno ini, saya penggal mulai dari peristiwa tanggal 16 Juni 1970 ketika Bung Karno dibawa ke RSPAD (Rumah Sakit Angkatan Darat Gatot Subroto). Ia dibawa pukul 20.15, harinya Selasa. Ada banyak versi mengenai peristiwa ini. Di antaranya ada yang menyebutkan, Sukarno dibawa paksa dengan tandu ke rumah sakit. Hal itu ditegaskan oleh Dewi Sukarno yang mengkonfirmasi alasan militer, bahwa Bung Karno dibawa ke RS karena koma. Dewi mendapat keterangan yang bertolak belakang. Waktu itu, tentara datang membawa tandu dan memaksa Bung Karno masuk tandu. Tentara tidak menghiraukan penolakan Bung Karno, dan tetap memaksanya masuk tandu dengan sangat kasar. Sama kasarnya ketika tentara mendorong masuk tubuh Bung Karno yang sakit-sakitan ke dalam mobil berpengawal, usai menghadiri pernikahan Guntur. Bahkan ketika tangannya hendak melambai ke khalayak, tentara menariknya dengan kasar.
Adalah Rachmawati, salah satu putri Bung Karno yang paling intens mendampingi bapaknya di saat-saat akhir. Demi mendengar bapaknya dibawa ke RSPAD, ia pun bergegas ke rumah sakit. Betapa murka hati Rachma melihat tentara berjaga-jaga sangat ketat. Hati Rachma mengumpat, dalam kondisi ayahandanya yang begitu parah, toh masih dijaga ketat seperti pelarian. “Apakah bapak begitu berbahaya, sehingga harus terus-menerus dijaga?” demikian hatinya berontak. Dalam suasana tegang, tampak Bung Karno tergolek lemah di sebuah ruang ujung becat kelabu. Tak ada keterangan ruang ICU atau darurat sebagaimana mestinya perlakuan terhadap pasien yang koma. Tampak jarum infus menempel di tangannya, serta kedok asam untuk membantu pernapasannya. Untuk menggambarkan kondisi Sukarno ketika itu, simak kutipan saksi mata Imam Brotoseno, “Lelaki yang pernah amat jantan dan berwibawa –dan sebab itu banyak digila-gilai perempuan seantero jagad, sekarang tak ubahnya bagai sesosok mayat hidup. Tiada lagi wajah gantengnya. Kini wajah yang dihiasi gigi gingsulnya telah membengkak, tanda bahwa racun telah menyebar kemana-mana. Bukan hanya bengkak, tapi bolong-bolong bagaikan permukaan bulan. Mulutnya yang dahulu mampu menyihir jutaan massa dengan pidato-pidatonya yang sangat memukau, kini hanya terkatup rapat dan kering. Sebentar-sebentar bibirnya gemetar menahan sakit. Kedua tangannya yang dahulu sanggup meninju langit dan mencakar udara, kini tergolek lemas. Hari kedua, 17 Juni 1970, Sukarno tampak lebih baik dari hari sebelumnya. Tapi, ia tidak mau makan. Bahkan, obat-obatan yang diberikan dokter pun enggan meminumnya. Setiap kali dokter hendak memberi suntikan pun, Bung Karno selalu menolak. Rachmawati menerka, Bung Karno mengetahui bahwa semua pengobatan selama ini hanya untuk memperlemah dirinya. Dalam kacamata politik, pengobatan dengan misi pembunuhan. Karenanya, kondisi Sukarno makin lemah dari hari ke hari. Hingga saat itu Rachma berani bertanya kepada tim dokter yang merawat, dalam hal ini ia bertanya kepada Ketua Tim Dokter yang merawat Bung Karno, yakni Prof Mahar Mardjono, “Mengapa sakit komplikasi yang diderita bapak dibiarkan begitu saja. Mengapa tidak dilakukan cuci darah?” Mahar hanya menjawab sambil lalu, sehingga Rachma berkesimpulan, dokter-dokter itu tidak benar-benar merawat Sang Proklamator Bangsa. Bahkan, para dokter tampak tak punya rasa iba sedikit pun. Lebih sakit hati Rachma ketika dr Mahar mengatakan, “Alat itu sedang dipesan dari Inggris, dan belum tentu ada. Kalaupun ada, kapan datangnya, tidak tahu.” Keterangan Mahar ini, di kemudian hari dibenarkan anggota dokter lain, “Sebenarnya sudah lama, tim dokter telah mengusulkan agar alat itu dibeli. Tapi alat itu tak kunjung datang meski pembeliannya kabarnya telah dijajaki di Singapura dan Inggris.” Dan akhirnya, anggota tim dokter itu menambahkan, “jangan-jangan memang sengaja tidak dibeli….”
soekarno 250x300 Kisah tragis Bung Karno
Bung Karno, Bapak Bangsa yg gagah dan berwibawa
Dalam keterangan lain, situasi saat itu memang membuat tim dokter yang dipimpin Mahar Mardjono tak berdaya. Ada kekuatan besar yang bisa mengancam nyawa mereka seandainya mereka bekerja di luar kendali penguasa. Karenanya dalam suatu kesaksian terungkap, saat kondisi Bung Karno kritis, Prof dr Mahar Mardjono sempat menuliskan resep khusus, namun obat yang diresepkannya itu disimpan saja di laci oleh dokter yang berpangkat tinggi. Mahar mengemukakan hal itu kepada rekannya, dr Kartono Mohammad. Kesaksian datang dari saksi lain yang juga mantan pejabat di era Sukarno. Menurutnya, adalah fakta bahwa Sukarno ditelantarkan oleh Soeharto pada waktu sakit. Saksi yang juga seorang purnawirawan tinggi militer itu juga mengungkapkan, perlakuan yang seragam terhadap Sukarno berasal dari sebuah instruksi, “Yang memberi instruksi adalah Soeharto,” katanya
Satu hari bernama tanggal 18, mungkin hanya bermakna 24 jam. Satu hari berikutnya yang bernama tanggal 19 Juni 1970, adalah bilangan 1440 menit, 86.400 detik. Tapi semua itu adalah tusukan duri bagi Sukarno yang tengah tergolek lemah. Sedangkan tanggal 20 Juni, tercatat sebagai simbol dwitunggal yang terpatri abadi. Sejarahlah yang berkuasa pada hari itu. Bung Hatta, datang menjenguk sahabat seperjuangan. Sementara, Bung Karno, seperti diberi kekuatan untuk menyaksikan kedatangan Sang Hatta. Maka, terjadilah pertemuan yang mengharu-biru, seperti dikisahkan Meutia Hatta dalam bukunya: Bung Hatta: Pribadinya dalam Kenangan. Berkata lirih Sukarno kepada Hatta, “Hatta… kau di sini….? Seperti diiris-iris hati Hatta melihat sahabatnya tergolek tanpa daya. Demi memompa semangat kepada sahabat, wajah teduh Bung Hatta menampakkan raut yang direkayasa, “Ya… bagaimana keadaanmu, No?” begitu Hatta membalas sapaan lemah Karno, dengan panggilan akrab yang ia ucapkan di awal-awal perjuangan. Hatta memegang lembut tangan Bung Karno. Bung Karno melanjutkan sapaan lemahnya, “Hoe at het met jou…” (Bagaimana keadaanmu?) Hatta benar-benar tak kuasa lagi merekayasa raut teduh. Hatta benar-benar tak kuasa menahan derasnya arus kesedihan demi mendengar sahabatnya menyapanya dalam bahasa Belanda, yang mengingatkannya pada masa-masa penuh nostalgi. Apalagi, usai berkata-kata lemah, Sukarno menangis terisak-isak. Lelaki perkasa itu menangis di depan kawan seperjuangannya. Seketika, Hatta pun tak kuasa membendung air mata. Kedua sahabat yang lama berpisah, saling berpegang tangan seolah takut terpisah. Keduanya bertangis-tangisan. “No…” Hanya kata itu yang sanggup Hatta ucapkan, sebelum akhirnya meledak tangis yang sungguh memilukan. Bibirnya bergetar menahan kesedihan, sekaligus kekecewaan. Bahunya terguncang-guncang karena ledakan emosi yang menyesakkan dada, yang mengalirkan air mata. Keduanya tetap berpegangan tangan. Bahkan, sejurus kemudian Bung Karno minta dipasangkan kacamata, agar dapat melihat sahabatnya lebih jelas. Selanjutnya, Bung Karno hanya diam. Mata keduanya bertatapan… mereka berbicara melalui bahasa mata. Sungguh, ada sejuta makna yang tertumpah pada sore hari yang bersejarah itu. Selanjutnya, Bung Karno hanya diam. Diam, seolah pasrah menunggu datangnya malaikat penjemput, guna mengantarnya ke swarga loka, terbang bersama cita-cita yang kandas di tangan bangsanya sendiri.
Hari-hari Terakhir Bung Karno, Siapa yang tak murka, demi mengetahui bahwa selama kurang lebih 1,5 tahun “dikerangkeng” di Wisma Yaso, Bung Karno, mantan Presiden Republik Indonesia, tokoh pemersatu dan proklamator bangsa, ternyata hanya diserahkan perawatannya secara penuh kepada dr Soeroyo. Siapakah dokter Soeroyo? Dia bukanlah dokter spesialis, melainkan dokter hewan! Ia masuk-keluar Wisma Yaso dengan perawat-perawat yang tidak jelas didatangkan dari mana. Bahkan obat-obatan yang dicekokkan ke Bung Karno pun sama sekali tidak tepat. Ia hanya memberinya duvadilin (mencegah kontraksi ginjal), metadone (penghilang rasa sakit), royal jeli, suntikan vitamin B1 dan B12, serta testoteron. Selain itu, Sukarno tiap malam juga minum valium. Tiap malam minum valium selama tahunan, tentu saja membuat tidurnya tak lagi terkontrol. Akibatnya Sukarno mulai sering merasakan pusing. Setiap itu pula, perawat memberinya obat pengurang rasa sakit, novalgin. Perawatan yang sembrono juga sering terjadi, ketika Bung Karno terbangun tengah malam dan muntah darah, dokter Soeroyo hanya memberinya vitamin. Sementara, dokter Mahar Mardjono yang disebut-sebut sebagai ketua tim, sama sekali tidak pernah hadir ke Wisma Yaso. Itu semua terungkap dalam dokumen yang lebih 27 tahun tersimpan oleh Siti Khadijah, yang tak lain adalah istri dokter Soeroyo. Benar adanya, bahwa sejarah pada akhirnya akan mengalir menemukan jalan kebenarannya sendiri. Benar pula, bahwa ada kecenderungan yang seolah tersusun rapi, tentang “pembunuhan” terhadap Sukarno. Tidak banyak cerita, tanggal 21 Juni 1970, pukul 07.00 WIB, Bung Karno menghembuskan nafas terakhirnya. Adalah dr Mahar Mardjono, satu-satunya orang yang menyaksikan “kepergian” Putra Sang Fajar.
Keterangan yang ia kemukakan, “Pada hari Minggu, 21 Juni 1970, pukul 04.00 pagi, Bung Karno dalam keadaan koma. Saya dan dokter Sukaman terus berada di sampingnya. Menjelang pukul 07.00 pagi, dr Sukaman sebentar meninggalkan ruangan rawat. Saya sendiri berada di ruang rawat bersama Bung Karno. Bung Karno berbaring setengah duduk, tiba-tiba beliau membuka mata sedikit, memegang tangan saya, dan sesaat kemudian Bung Karno menghembuskan nafas yang terakhir.” Tak lama berselang, keluarlah komunike medis:
1. Pada hari Sabtu tangal 20 Juni 1970 jam 20.30 keadaan kesehatan Ir. Sukarno semakin memburuk dan kesadaran berangsur-angsur menurun.
2. Tanggal 21 Juni 1970 jam 03.50 pagi, Ir Sukarno dalam keadaan tidak sadar dan kemudian pada jam 07.00 Ir Sukarno meninggal dunia.
3. Team dokter secara terus-menerus berusaha mengatasi keadaan kritis Ir Sukarno hingga saat meninggalnya. Komunike itu ditandatangai Ketua Prof Dr Mahar Mardjono, dan Wakil Ketua Meyjan Dr (TNI-AD) Rubiono Kertopati. Sementara itu, Syamsu Hadi suami dari Ratna Juami, anak angkat Bung Karno dan Inggit Ganarsih yang melihat jenazah Bung Karno melukiskan dengan baik, “Wajah almarhum begitu tenang. Seperti orang tidur saja nampaknya. Mata tertutup baik. Alis tebal tidak berubah, sama seperti dulu.”
Rakyat Indonesia dari penjuru Tanah Air, berjubel, tidak saja di sekitar Wisma Yaso tempat jenazah Bung Karno disemayamkan, tetapi juga di Blitar, Jawa Timur, tempat jazad Bung Karno dikebumikan. Seperti pengalaman pribadi mantan ajudan Bung Karno, Bambang Widjanarko. Ia merasa bagai tersambar petis demi mendengar kematian tokoh bangsa yang delapan tahun ia layani. Bambang yang ketika Bung Karno wafat sudah menjabat sebagai Asisten Kepala Personil Urusan Militer Mabes TNI-AL itu, bergegas menuju Wisma Yaso. Wisma Yaso yang sejak siang sudah dijejali kerumunan rakyat yang hendak melayat, tidak juga surut hingga malam hari. Bambang pun masuk dalam antrian pelayat, yang berjalan menuju ruang tengah Wisma Yaso setapak demi setapak. Suasana ketika itu dilukiskan sebagai sangat mengharukan. Tidak terdengar percakapan, kecuali isak tangis, dan bisik-bisik pelayat. Di sudut ruang, masih tampak kerabat dan pelayat yang tak kuasa menahan jeritan hati yang mendesak di rongga dada, hingga tampak tersedu-sedu. Tiba di dekat peti jenazah, Bambang melantunkan doa, “Ya Tuhan, Engkau telah berkenan memanggil kembali putraMu, Bung Karno. Terimalah kiranya arwah beliau di sisiMu. Sudilah Engkau mengampuni segala dosa-dosanya dan berkenanlah Engkau menerima segala tekad dan perbuatannya yang baik. Engkau Mahatahu ya Tuhan, dan Engkaulah Mahakuasa, aku mohon kabulkanlah doaku ini. Amin” Segera setelah usai berdoa, Bambang menuju kamar lain, tempat keluarga BK berkumpul. Di sana tampak Hartini, Dewi, Guntur, Mega, Rachma, Sukma, Guruh, Bayu, dan Taufan. Mereka pun saling berangkulan. Sejurus kemudian, Sekmil Presiden, Tjokropranolo mendekati Bambang dan berkata, “Mas Bambang, kami mohon sedapatnya bantulah kami dalam menjaga dan melayani keluarga BK yang saat ini amat sedih dan emosional.” Bambang segera menukas, “Baik, tapi toong sampaikan hal ini kepada KSAL.” Begitulah. Bambang sejak itu tak pernah jauh dari keluarga Bung Karno. Baginya, inilah bhakti terakhir yang dapat ia persembahkan bagi Bung Karno. Bambang juga berada di mobil bersama keluarga Bung Karno dalam perjalanan dari Wisma Yaso ke Halim, dari Halim terbang ke Malang, dan dari Malang jalan darat dua jam ke Blitar. Di situ, ia melihat rakyat berjejal di pinggir jalan, menangis menjerit-jerit, atau diam terpaku dengan air mata bercucuran. Bambang yang duduk dekat Rachma tak kuasa menahan haru demi melihat begitu besar kecintaan rakyat kepada Bung Karno. Ia pun berkata pelan kepada Rachma, “Lihatlah, Rachma, rakyat masih mencintai Bung Karno. Mereka juga merasa kehilangan. Jasa bapak bagi nusa dan bangsa ini tidak akan terlupakan selamanya.” Rachma mengangguk. Pemandangan yang sama tampak di Blitar hingga ke areal pemakaman. Ratusan ribu rakyat sudah menunggu. Bahkan militer harus ekstra ketat menjaga lautan manusia yang ingin merangsek mendekat, melihat, menyentuh peti jenazah Bung Karno. Sementara itu, upacara pemakaman dengan cepat dilaksanakan. Panglima TNI Jenderal M. Panggabean menjadi inspektur upacara mewakili Pemerintah Republik Indonesia. Prosesi pemakaman berlanjut. Peti jenazah pelan-pelan diturunkan ke liang kubur. Tak lama kemudian, liang kubur mulai ditutup timbunan tanah… saat itulah meledak tangis putra-putri Bung Karno, yang kemudian sisusul ledakan tangis pelayat yang lain di sekitar makam. Bambang Widjanarko merasa hancur hatinya demi melihat penderitaan anak-anak Bung Karno ditinggal pergi bapaknya untuk selama-lamanya. Tanpa terasa, air mata Bambang mengalir lagi di pipi. Akhirnya, selesailah upacara pemakaman Bung Karno yang berlangsung sederhana tetapi khidmat. Acara pun ditutup tanpa menunggu selesainya peletakkan karangan bunga. Meski rombongan resmi sudah meninggalkan makam, tetapi ribuan manusia tak beranjak. Bahkan aliran peziarah dari berbagai penjuru negeri, terus mengalir hingga malam. Mereka maju berkelompok-kelompok, meletakkan karangan bunga atau menaburkan bunga lepas di tangannya, kemudian berjongkok, atau duduk memanjatkan doa, menangis di dekat pusara Bung Karno.
Malam makin gelap, tetapi sama sekali tak menyurutkan lautan manusia mengalir menuju makam Bung Karno. Makin malam, makin gelap, tampak makin khusuk mereka bedoa. Ratusan orang meletakkan karangan bunga, ratusan orang menabur bunga lepas, tetapi puluhan ribu pelayat pergi membawa segenggam bunga. Alhasil, karangan bunga dan taburan bunga yang menggunung si sore hari, telah habis diambil peziarah lain selagi matahari belum lagi merekah di ufuk timur. Habis bunga, peziarah berikutnya menjumput segenggam tanah di pusara Bung Karno, dan dimasukkan saku celana. Tak ayal, tanah menggunduk di atas jazad Bung Karno pun menjadi rata. Inilah dalam ritual Jawa yang disebut “ngalap berkah”. Seorang pelayat, dan ia adalah rakyat biasa, berkata, “Bung Karno adalah seorang pemimpin besar, Pak. Kami rakyat, sangat mencintainya. Sebagai kenangan saya bawa pulang sedikit bunga ini.” Begitulah, karangan bunga, taburan bunga, bahkan gundukan tanah pun dijumput para peziarah. Yang tampak keesokan harinya, 23 Juni 1970 adalah pusara berhias tanah merah.
Cerita tak cukup sampai disini, bahkan terhitung dari sekitar tahun 1971-1979 pemerintah dalam hal ini atas perintah presiden soeharto menutup areal makam Bung Karno, bila ingin berziarah harus seizin kepala korem diblitar serta area makam dijaga ketat selama 24 jam secara bergantian oleh tentara. Menurut kesaksian seoarang peziarah ygy pernah berkunjung kala itu harus meminta surat izin kepada kepala korem & itupun tdk mudah. Soehrato benar-benar ingin membuang/menyingkirkan jauh-jauh Bung Karno dari rakyat Indonesia sebelum & sesudah beliau wafat, dengan izin mengunjungi makam Bung karno yg tdk mudah tersebut sangat mustahil bagi kalangan rakyat biasa bias berkunjung/berziarah. Bahkan menurut kesaksian beberapa orang yg pernah berziarah dengan mendapat surat izin, sesampainya mereka diarea komplek makam banyak rakyat yg mengikuti dibelakan mereka agar dapat masuk ke makam Bung karno bahkan ada yg rela menginap berhari-hari demi menunggu kesempatan seperti itu datang karena susahnya masuk ke makam Bung Karno. Apalagi kita ketahui bersama bahwa tempat pemakaman Bung Karno diblitar bukan keputusan keluarga Bung Karno melainkan keputusan sepihak pemerintah kala itu yaitu keputusan presiden soeharto.  Toh,pada akhirnya orang yang dulu mendzalimi bung karno, Presiden Soeharto diakhir hayatnya juga mendapatkan azab yang sama sebelum dia mati..Seperti pesan terakhir Bung Karno : Siapa menabur angin, Dia akan menuai badai