
Bung
Karno sang pertapa? Hendaknya jangan dilihat sebagai sosok begawan,
pendeta, atau kaum pertapa zaman Majapahit. Jika kita mendengar legenda,
ephos, atau bahkan mitos tentang kakek-moyang kita, istilah “bertapa”
sangatlah lazim. Sebuah kegiatan meditasi di tempat nun sunyi. Bayangan
kita terlempar pada sesosok manusia duduk bersila di bawah pohon
raksasa, dengan rambut menjuntai, duduk terpekur mata terpejam
berhari-hari, berpuluh-puluh hari, bahkan berbulan-bulan….
Ihwal aktivitas bertapa, sempat menggelitik tanya, “Bagaimana mungkin
manusia bisa tetap hidup tanpa makan-minum berhari-hari?” Saya pribadi
baru menemukan jawabnya setelah mengikuti kelas “meditasi usada” Merta
Ada sekitar selusin tahun yang lalu. Memang agak susah dicerna awam,
terlebih bagi yang belum pernah mengikuti kelas meditasi.
Saat manusia bermeditasi, aktivitas ragawi mati total. Semua fungsi
diambil-alih oleh “kesadaran”, buah konsentrasi penuh yang menggumpal
menjadi sebuah kekuatan nyata di luar kemampuan fisik. Stop dulu!!! Saya
berpikir, kalimat barusan sangat sulit dicerna. Hingga di sini, saya
sempat
break menarikan jari-jemari di tuts laptop. Mencoba
mencari bahasa yang mudah dicerna, untuk menjelaskan bagaimana proses
“moksa”, proses melepaskan kesadaran dari raga.
OK. Baiklah. Saya memutuskan untuk tidak memperpanjang penjelasan tentang proses bertapa, bermeditasi.
Point
yang ingin saya sampaikan adalah, bahwa di saat meditasi, raga memang
tidak membutuhkan asupan nasi atau air. Partikel-partikel yang
terkandung di dalam udara (oksigen), sangat kaya. Ia masuk melalui
pori-pori dalam kulit, terserap ke sel-sel darah, dan mengalir menjadi
energi.
Kapan terakhir kali Anda melihat butiran embun di dedaunan? Tanpa
hujan, butiran embun tercipta, mewujud menjadi air dengan segala
khasiatnya. Bersamaan terbitnya sang surya, embun pun menguap (atau
terserap daun?). Itu ilustrasi kongkrit, betapa tubuh seorang pertapa,
juga mendapatkan embun yang merausk ke raganya, dan menjadikan energi
yang dibutuhkan bagi proses metabolisme tubuh, sehingga tahan tidak
makan, tidak minum berhari-hari, berpuluh-puluh hari….
Sukarno adalah salah satu “kakek-moyang” bagi kita di generasi kini.
Tentu menjadi tidak aneh jika dia melakukan meditasi, bertapa di
tempat-tempat sunyi. Ihwal aktivitasnya ini, suatu hari Bung Karno
pernah mengatakan, bahwa yang dia lakukan sama sekali tidak ada
hubungannya dengan klenik. Sama sekali bukan aktivitas mistik. “Itu
(meditasi) adalah bagian dari kehidupan manusia yang ranahnya ada di
dalam hati. Yang tentu saj tidak terpisahkan dari kehidupan dan akal
yang ada.”
Bertapa, bermeditasi, adalah olah batin, olah rasa, olah hati. Aa Gym
menggatakan “manajemen qolbu”. Di luar kepercayaan atau stigma yang
mendampingkan aktivitas bertapa dengan mencari kekuatan supranatural,
maka bisa ditegaskan di sini, bahwa satu hal pasti, dengan bermeditasi,
maka jiwa, hati, perasaan seseorang jauh lebih tertata. Wujudnya bisa
menjadi maha bijaksana, pandai mengendalikan emosi atau perasaan.
Sang pertapa, akan memiliki kemampuan me-manage sebuah perisitwa
buruk dalam satu genggaman. Di sana ada menyatu antara peristiwa buruk,
sebab-akibat perisitwa itu terjadi, dampak dari peristiwa buruk yang
mungkin terjadi, serta solusi atau kebijakan yang harus diambil. Nah,
keseluruhan tadi, tertangkap dalam kesadaran seketika.
Contoh mudah… saat kita mengendari sepeda motor atau mobil. Tiba-tiba
terjadi insiden (entah menabrak, entah ditabrak), nah bersamaan dengan
terjadinya perisitiwa tadi, muncul kesadaran, bahwa yang baru saja
terjadi adalah sebuah kecelakaan. Kita tidak menghendaki, si korban atau
pelaku juga tidak menghendaki. Menyikapi dengan emosi, marah, kecewa,
cemas, sama sekali bukan jalan keluar. Sebaliknya, jika kita menabrak,
kita harus minta maaf dan bertanggung jawab. Jika kita yang ditabrak,
sebaik-baiknya sikap adalah memaafkannya. Dan… berlalulah. Sebab,
marah-marah tidak akan memperbaiki kerusakan, sebaliknya justru bikin
lalu lintas tambah macet, lebih-lebih jika sampai berkelahi, maka kita
bisa mencelakai orang lain, atau kita yang celaka. Jadi,
so simple bukan? Itulah sebagian kecil dari cara berpikir alumni kelas meditasi… (ehemmm)….
Dalam konteks dahulu kala, orang bermeditasi di tengah hutan, jauh
dari keramaian. Dalam konteks kekinian, masih ada yang melakukannya di
tengah hutan, di tepi sungai jauh dari keramaian, tetapi ada juga yang
dilakukan di kelas-kelas ber-AC, di dalam tempat peribadatan (misalnya
berdzikir di masjid), dan aneka cara lain. Tetapi esensinya adalah “olah
batin”, manajemen qolbu.
Jadi, mari kita bertapa….
(roso daras)