Selasa, 24 Juli 2012

Ki Ageng Suryomentaram

Ki Ageng Suryomentaram

Ada apa dengan Ki Ageng Suryomentaram? Ada Bung Karno di balik sosok Kejawen yang satu ini. Nama Ki Ageng Suryomentaram, melekat begitu dalam bagi siapa pun pengkaji “ilmu kaweruh”, ilmu kejiwaan ala Jawa. Petuah-petuahnya, wejangan-wejangannya sangat berisi. Lahir dari sebuah endapan penjiwaan yang panjang.
Sedikit introduksi, Ki Ageng Suryomentaram adalah sosok darah biru dari kasultanan Yogyakarta. Dia adalah putra dari Sri Sultan Hamengku Buwono VII. Pria yang lahir di Keraton Yogyakarta pada 20 Mei 1892 itu, juga dikenal sebagai paman dari Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Raja Yogya paling berpengaruh, dan terkenal dengan bukunya, “Tahta untuk Rakyat”.
Sebagai putra raja, maka Ki Ageng Suryomentaram dengan sendirinya merupakan seorang Pangeran. Pewaris tahta kerajaan. Akan tetapi, ia meninggalkan status ke-Pangeran-an, juga meninggalkan kehidupan keraton dan minggir ke wilayah Bringin, Salatiga. Di sana ia hidup sebagai petani. Di kesejukan Salatiga, Ki Ageng Suryomentaram memusatkan seluruh daya dan perhatiannya untuk menyelidki masalah-masalah kejiwaan.
Dalam masa itu, ia menggunakan dirinya sendiri sebagai “kelinci percobaan”. Banyak hasil kontemplasinya yang kemudian dituang dalam bentuk “serat” atau tulisan. Tidak berhenti di situ, Ki Ageng Suryomentaram kemudian memiliki “pengikut”. Bahkan kemudian Ki Ageng Suryomentaram acap melakukan perjalanan ke berbagai kota untuk memberikan wejangan dalam bentuk ceramah-ceramah, dengan jumlah pengikut yang terus bertambah. Salah satu nama sesi ceramahnya adalah Junggring Salaka Agung (pertemuan besar antara pelajar-pelajar Ilmu Jiwa dari Ki Ageng Suryomentaram).
Beberapa materi ceramah bahkan sudah dibukukan dan diterbitkan oleh Yayasan Idayu. Misalnya serial tentang Mawas Diri, Ilmu Jiwa Kramadangsa, dan Wejangan Pokok Ilmu Bahagia.
Nah, tahukah Anda… Bung Karno termasuk orang yang menggemari pemikiran-pemikiran Ki Ageng Suryomentaram. Keduanya acap melakukan dialog tentang Ilmu Jiwa, Ilmu Mawas Diri dan lain sebagainya. Jika keduanya sudah berbicara, maka semua bentuk protokoler hilang. Ki Ageng Suryomentaram akan menerima Bung Karno dengan sangat santai, berkaos oblong, bersarung… sekalipun Bung Karno (misalnya) datang dengan busana kepresidenan.
Ingin rasanya mengutip tulisan-tulisan Ki Ageng Suryomentaram di blog ini.

TONGKAT KOMANDO BK

Misteri Tongkat Komando Bung Karno

Bung Karno dan Tongkat Komando
Dalam banyak dokumentasi foto Bung Karno, tidak sedikit yang menampakkan sosok Putra Sang Fajar itu memegang atau mengempit tongkat komando. Dalam hierarki kemiliteran, posisinya sebagai Panglima Tertinggi, tentu saja merupakan hal yang wajar jika ia sering terlihat memegang tokat komando. Sama seperti yang sering kita lihat, ketika Panglima TNI, Panglima Kodam, Kapolri, memegang tongkat komando.
Akan tetapi, tidak begitu dari kacamata spiritual. Kalangan yang percaya hal-hal ghaib. Kalangan yang percaya adanya kekuatan tertentu pada benda-benda keramat. Kalangan yang percaya adanya hal-hal metafisik yang tidak bisa dibahas dengan kalimat lugas, dan tidak bisa dinalar dengan pola pikir normal. Nah, kelompok ini, begitu eksis di Indonesia, sejak dulu sampai sekarang.
Di antara kalangan mereka, percaya betul bahwa tongkat komando Bung Karno bukanlah sembarang tongkat. Tongkat komando Bung Karno adalah tongkat sakti, yang berisi keris pusaka ampuh. Bahkan, kayu yang dibuat sebagai tongkat pun bukan sembarang kayu, melainkan kayu pucang kalak. Pucang adalah jenis kayu, sedangkan Kalak adalah nama tempat di selatan Ponorogo, atau utara Pacitan. Di pegunungan Kalak terdapat tempat persemayaman keramat. Nah, di atas persemayaman itulah tumbuh pohon pucang.
Ada begitu banyak jenis kayu pucang, tetapi dipercaya pucang kalak memiliki ciri khas. Salah satu cara untuk mengetes keaslian kayu pucang kalak, pegang tongkat tadi di atas permukaan air. Jika bayangan di dalam air menyerupai seekor ular yang sedang berenang, maka berarti kayu pucang kalak itu asli. Tetapi jika yang tampak dalam bayangan air adalah bentuk kayu, itu artinya bukan pucang kalak. Pucang biasa, yang banyak tumbuh di seantero negeri.
Begitulah sudut pandang mistis masyarakat spiritual terhadap tongkat komando Bung Karno. Alhasil, tidak sedikit yang menghubungkan dengan besarnya pengaruh Sukarno. Tidak sedikit yang menghubungkan dengan kemampuannya menyirap kawan maupun lawan. Tidak sedikit yang menghubungkan dengan “kesaktian” Sukarno, sehingga lolos dari beberapa kali usaha pembunuhan.
Apa kata Bung Karno? “Ah… itu semua karena lindungan Allah, karena Ia setuju dengan apa-apa yang aku kerjakan selama ini. Namun kalau pada waktu-waktu yang akan datang Tuhan tidak setuju dengan apa-apa yang aku kerjakan, niscaya dalam peristiwa (pembunuhan) itu, aku bisa mampus.”

ROSO

Bung Karno Sang Pertapa

Bung Karno sang pertapa? Hendaknya jangan dilihat sebagai sosok begawan, pendeta, atau kaum pertapa zaman Majapahit. Jika kita mendengar legenda, ephos, atau bahkan mitos tentang kakek-moyang kita, istilah “bertapa” sangatlah lazim. Sebuah kegiatan meditasi di tempat nun sunyi. Bayangan kita terlempar pada sesosok manusia duduk bersila di bawah pohon raksasa, dengan rambut menjuntai, duduk terpekur mata terpejam berhari-hari, berpuluh-puluh hari, bahkan berbulan-bulan….
Ihwal aktivitas bertapa, sempat menggelitik tanya, “Bagaimana mungkin manusia bisa tetap hidup tanpa makan-minum berhari-hari?” Saya pribadi baru menemukan jawabnya setelah mengikuti kelas “meditasi usada” Merta Ada sekitar selusin tahun yang lalu. Memang agak susah dicerna awam, terlebih bagi yang belum pernah mengikuti kelas meditasi.
Saat manusia bermeditasi, aktivitas ragawi mati total. Semua fungsi diambil-alih oleh “kesadaran”, buah konsentrasi penuh yang menggumpal menjadi sebuah kekuatan nyata di luar kemampuan fisik. Stop dulu!!! Saya berpikir, kalimat barusan sangat sulit dicerna. Hingga di sini, saya sempat break menarikan jari-jemari di tuts laptop. Mencoba mencari bahasa yang mudah dicerna, untuk menjelaskan bagaimana proses “moksa”, proses melepaskan kesadaran dari raga.
OK. Baiklah. Saya memutuskan untuk tidak memperpanjang penjelasan tentang proses bertapa, bermeditasi. Point yang ingin saya sampaikan adalah, bahwa di saat meditasi, raga memang tidak membutuhkan asupan nasi atau air. Partikel-partikel yang terkandung di dalam udara (oksigen), sangat kaya. Ia masuk melalui pori-pori dalam kulit, terserap ke sel-sel darah, dan mengalir menjadi energi.
Kapan terakhir kali Anda melihat butiran embun di dedaunan? Tanpa hujan, butiran embun tercipta, mewujud menjadi air dengan segala khasiatnya. Bersamaan terbitnya sang surya, embun pun menguap (atau terserap daun?). Itu ilustrasi kongkrit, betapa tubuh seorang pertapa, juga mendapatkan embun yang merausk ke raganya, dan menjadikan energi yang dibutuhkan bagi proses metabolisme tubuh, sehingga tahan tidak makan, tidak minum berhari-hari, berpuluh-puluh hari….
Sukarno adalah salah satu “kakek-moyang” bagi kita di generasi kini. Tentu menjadi tidak aneh jika dia melakukan meditasi, bertapa di tempat-tempat sunyi. Ihwal aktivitasnya ini, suatu hari Bung Karno pernah mengatakan, bahwa yang dia lakukan sama sekali tidak ada hubungannya dengan klenik. Sama sekali bukan aktivitas mistik. “Itu (meditasi) adalah bagian dari kehidupan manusia yang ranahnya ada di dalam hati. Yang tentu saj tidak terpisahkan dari kehidupan dan akal yang ada.”
Bertapa, bermeditasi, adalah olah batin, olah rasa, olah hati. Aa Gym menggatakan “manajemen qolbu”. Di luar kepercayaan atau stigma yang mendampingkan aktivitas bertapa dengan mencari kekuatan supranatural, maka bisa ditegaskan di sini, bahwa satu hal pasti, dengan bermeditasi, maka jiwa, hati, perasaan seseorang jauh lebih tertata. Wujudnya bisa menjadi maha bijaksana, pandai mengendalikan emosi atau perasaan.
Sang pertapa, akan memiliki kemampuan me-manage sebuah perisitwa buruk dalam satu genggaman. Di sana ada menyatu antara peristiwa buruk, sebab-akibat perisitwa itu terjadi, dampak dari peristiwa buruk yang mungkin terjadi, serta solusi atau kebijakan yang harus diambil. Nah, keseluruhan tadi, tertangkap dalam kesadaran seketika.
Contoh mudah… saat kita mengendari sepeda motor atau mobil. Tiba-tiba terjadi insiden (entah menabrak, entah ditabrak), nah bersamaan dengan terjadinya perisitiwa tadi, muncul kesadaran, bahwa yang baru saja terjadi adalah sebuah kecelakaan. Kita tidak menghendaki, si korban atau pelaku juga tidak menghendaki. Menyikapi dengan emosi, marah, kecewa, cemas, sama sekali bukan jalan keluar. Sebaliknya, jika kita menabrak, kita harus minta maaf dan bertanggung jawab. Jika kita yang ditabrak, sebaik-baiknya sikap adalah memaafkannya. Dan… berlalulah. Sebab, marah-marah tidak akan memperbaiki kerusakan, sebaliknya justru bikin lalu lintas tambah macet, lebih-lebih jika sampai berkelahi, maka kita bisa mencelakai orang lain, atau kita yang celaka. Jadi, so simple bukan? Itulah sebagian kecil dari cara berpikir alumni kelas meditasi… (ehemmm)….
Dalam konteks dahulu kala, orang bermeditasi di tengah hutan, jauh dari keramaian. Dalam konteks kekinian, masih ada yang melakukannya di tengah hutan, di tepi sungai jauh dari keramaian, tetapi ada juga yang dilakukan di kelas-kelas ber-AC, di dalam tempat peribadatan (misalnya berdzikir di masjid), dan aneka cara lain. Tetapi esensinya adalah “olah batin”, manajemen qolbu.
Jadi, mari kita bertapa…. (roso daras)

Menguak Kabut G 30/S/PKI

Achadi Menguak Kabut G30S

Mohammad Achadi, nama yang sangat lekat buat saya pribadi. Bukan saja karena dia Sukarnois, lebih dari itu, dia adalah pelaku sejarah. Pernah begitu dekat dengan Bung Karno. Bahkan pernah menjadi “pembantu”nya dalam posisi sebagai Menteri Transmigrasi dan Koperasi Kabinet Dwikora yang Disempurnakan. Di luar itu semua, ada satu pekerjaan penulisan buku tentang dia yang belum saya selesaikan.
Sebagai menteri kabinet terakhir Bung Karno, sekaligus saksi hidup jatuhnya Bung Karno, tentu saja Achadi tahu banyak tentang peristiwa yang sekarang kita kenal dengan sebutan G30S (Gerakan 30 September). Achadi sendiri menyebutnya Gestok (Gerakan Satu Oktober). Ya, baik 30 September, atau 1 Oktober, keduanya terjadi di tahun yang sama, 1965, yang berepilog, runtuhnya rezim Sukarno dan naiknya rezim Soeharto.
Walhasil, jika kemudian Achadi menulis buku “Kabut G30S, Menguak Peran CIA, M16, dan KGB”, menjadi begitu berarti. Persis seperti yang berulang-kali Achadi kemukakan dalam banyak kesempatan saya bertemu dengannya, bahwa dalang G30S itu bukan hanya CIA, tetapi juga KGB. Awalnya, sungguh sebuah statemen yang mengagetkan.
Achadi membeberkan secara jelas, dilengkapi fakta pendukung yang sungguh menarik. Antara lain kesaksian Achadi yang ketika berada di dalam tahanan (Orde Baru), bertemu dengan tokoh-tokoh PKI, maupun tokoh-tokoh yang diindikasikan terlibat G30S. Mereka antara lain Jenderal Supardjo (Wakil Pemimpin Senko/Sentral Komando G30S), Letkol Untung (Pemimpin Senko G30S), Jenderal Sabur (Komandan Cakra Birawa) dan Pono (Biro Khusus PKI).
Kesaksian-kesaksian tersebut kemudian terangkai menjadi sebuah fakta baru, yang sejatinya lebih bersifat memperkuat dari fakta-fakta yang sudah lama terbongkar. Antara lain, bahwa Bung Karno sama sekali tidak terlibat baik langsung maupun tak langsung dengan G30S, bahwa ada keterlibatan CIA, M16, dan KGB di dalam tragedi tersebut, bahwa Soeharto mengetahui akan adanya pergerakan malam 30 September 1965, bahwa Jenderal A. Yani kepada Bung Karno pernah membenarkan tentang adanya “Dewan Jenderal”, dan masih banyak fakta lain.
Buku ini juga mencantumkan rencana CIA terhadap penggulingan Sukarno, yang secara intensif tertuang dalam dokumen penggulingan Sukarno periode 1964-1968. Sementara itu, agen-agen rahasia Inggris (M16), dalam dokumen yang juga dicantumkan oleh Achadi, mulai beraksi melakukan kegiatan spionase penggulingan Sukarno secara intensif antara tahun 1963-1966.
Singkat kalimat, Achadi, pria kelahiran Kutoarjo 14 Juni 1931 itu, dalam kesepuhannya masih gigih menguak fakta, menguak kebenaran tentang seorang manusia bernama Sukarno. Ihwal alasan di balik itu, tentu hanya Tuhan dan Achadi yang tahu. Hanya, suatu hari Achadi pernah berkata kepada saya, “Percayalah, antek Soeharto masih banyak. Dan selama itu pula, upaya mendiskreditkan Bung Karno juga tidak akan pernah selesai. Jadi, kita juga tidak boleh surut menyuarakan kebenaran tentang Sukarno.” (roso daras)

ROSO DARAS

Tentang Buku Ketiga, Bung Karno vs Kartosoewirjo

Di tengah kepenatan fisik dan otak, izinkan saya mengabarkan, keseluruhan naskah buku ketiga sudah selesai dan terkirim ke penerbit Imania. Buku ketiga, berbeda dengan dua buku terdahulu. Jika buku pertama dan kedua, menggunakan judul yang sama “Bung Karno, the Other Stories, Serpihan Sejarah yang Tercecer” (buku 1 dan 2), maka yang ketiga, atas kesepakatan dengan penerbit, diambil satu tema besar. Atas kesepakatan pula, di buku ketiga, mengangkat judul “Baratayudha, Bung Karno vs Kartosoewirjo”, disambung judul serial “Serpihan Sejarah yang Tercecer, buku ke-3.
Sesuai tema besar, maka ulasan tentang perseteruan politik antara Bung Karno dan Kartosoewirjo, mendapat porsi yang cukup besar. Selain memang unik, juga terbilang dramatis. Dua sahabat yang sempat belajar dan indekos bersama di kediaman HOS Cokroaminoto di Surabaya, pada akhirnya harus berseberangan pandang. Bung Karno sebagai Presiden, menetapkan Pancasila sebagai ideologi negara. Sementara itu, SM Kartosoewirjo memberontak dan memproklamasikan Negara Islam Indonesia (NII).
Apa hendak dikata, dalam perspektif kenegaraan, tindakan Kartosoewirjo adalalah satu bentuk makar. Karenanya, Pemerintah RI berkewajiban menumpasnya. Pasukan TNI pun melakukan perlawanan dan usaha penumpasan kaum pemberontak DI/TII ini hingga ke akar-akarnya. Keselurhan operasi ini menelan waktu tak kurang dari lima tahun.
Selama itu pula, DI/TII yang didukung aksi intelijen Amerika Serikat, mendapat sokongan senjata, peralatan komunikasi canggih, dan… tentu saja guyuran dolar. Sejatinya, pemberontakan yang disponsori asing, bukanlah yang pertama. Bahkan dalam bentang sejarah kita, hampir semua aksi politik yang berujung pada suksesi kepemimpinan nasional, tak pernah luput dari pengaruh dan peran asing.
Orde Baru berhasil menumbangkan pemerintahan Sukarno, tak lepas dari peran aktif CIA. Gelombang demonstran yang didukung Angkatan Darat, adalah bagian dari skenario besar menumbangkan “singa Asia” ketika itu, Sukarno. Negeri-negeri Barat sangat geram dengan Bung Karno, yang berhasil menggalang kekuatan Asia-Afrika, bahkan sedia mencetuskan CONEFO (Conference of New Emerging Forces). Jika itu terwujud, di dunia ini akan bercokol dua organisasi negara-negara.
PBB yang dikritik habis oleh Bung Karno karena tak bisa melepaskan diri dari hegemoni super power, dilawan Sukarno dengan menggalang kekuatan-kekuatan baru, dari negara-negara yang baru melepaskan diri dari aksi kolonialisme (penjahan). Spirit melawan negara maju yang hendak mencengkeramkan kekuasaannya kembali melalui proyek-proyek ekonomi, dilawan Bung Karno dengan lugasnya.
Bukan hanya itu. Lagi-lagi, asing pun berperan besar dalam menumbangkan Orde Baru, manakala Soeharto mulai kehilangan kendali atas kekuasaannya. Ditambah, kecenderungan korupsi serta praktek-praktek nepotisme yang berkembang di luar batas kewajaran. Sekali dongkel, dengan didahului prahara badai krisis moneter, tumbanglah rezim Orde Baru.
Kembali ke topik buku. Sebagai Sukarnois, tentu saja tulisan itu beranjak dari perspektif yang tentu saja bertentangan dengan perspektif kelompok ekstrim kanan yang menghendaki Indonesia menjadi negara Islam. Rasanya ini tidak keliru, sepanjang NKRI masih berstatus negara republik dengan landasan ideologi Pancasila. Tentu lain soal seandainya pemerintah dan parlemen menyepakati perubahan ideologi dari Pancasila ke Islam.
Akan tetapi, sepanjang NKRI konsisten dengan Pancasila sebagai ideologi negara, maka bukan saja konsep negara Islam tidak dibenarkan secara konstitusi, juga upaya-upaya ideolog lain, seperti komunis, misalnya, juga tak akan pernah menjadi gerakan legal.
Materi tentang Bung Karno vs Kartosoewirjo, dilengkapi pula dengan sejumlah naskah-naskah pendek sebagai pelengkap sekaligus penguat. Selain itu, penulis juga menyajikan pidato Bung Karno pada 1 Juni 1945 yang kini kita peringati sebagai hari kelahiran Pancasila. Ini menjadi relevan, agar audiens memahami bagaimana para founding father menyepakati ideologi negara kita.
Yang tak kalah menarik, saya sajikan pula sebanyak 12 surat-surat Islam Bung Karno dari Ende. Ini adalah fase Bung Karno mendalami Islam, dan belajar bersama Ahmad Hassan, yang ketika itu berada di Bandung. Surat-menyurat Ende-Bandung itu, tidak melulu sebagai sajian surat belaka. Penulis melengkapinya dengan pengantar yang cukup panjang, untuk lebih memperkenalkan sosok A. Hassan, serta bagaimana riwayat perkenalan Bung Karno dan A. Hassan.
Pada tiap-tiap akhir surat, penulis membuat catatan-catatan. Ada yang berupa komen atas surat tersebut, ada juga yang merupakan upaya memperkaya literasi, sehingga audiens bisa lebih gamblang mencerna surat-surat Bung Karno, serta lebih menghayati suasana kebatinan maupun latar belakang lahirnya surat-surat tersebut.
Dibanding buku pertama yang 200 halaman lebih, dan buku kedua yang lebih tipis sedikit, maka buku ketiga ini diperkirakan mencapai ketebalan lebih dari 260 halaman. Sekalipun begitu, penerbit telah mengkalkulasi sedemikian rupa, sehingga tidak akan memberatkan kocek peminat buku ini, akibat harga yang tinggi. Dari konfirmasi sementara, buku ketiga ini akan luncur sekitar bulan Oktober 2011. Mohon doa restu agar segala sesuatunya berjalan lancar.  (roso daras)

SEE BK

Berkat Bakiak, Bertemu Bung Karno

Bung Karno dan Jenderal Sudirman. Dua nama besar dalam sejarah bangsa kita. Keduanya kental dengan semangat kebangsaan. Beda usia mereka kurang lebih 15 tahun. Bung Karno lahir tahun 1901, sementara Sudirman lahir tahun 1916.
Sependek usia mereka terpaut, sejauh itu pula keduanya memiliki perbedaan jam terbang dalam kancah pergerakan kemerdekaan. Ini terbukti, saat Bung Karno masuk-keluar penjara, Sudirman baru saja mengenal organisasi kepanduan milik Muhammadiyah, Hizboel Wathan (HW) di Cilacap, kota di mana ia dibesarkan.
Sudirman yang kelahiran Rembang itu, memang dibesarkan di Cilacap, wilayah Karesidenan Banyumas. Di sini pula ia aktif dalam organisasi kepanduan. Digembleng fisik, mental dan rohaninya, serta kepedulian sosial. Khas semangat pandu. Ditambah paham Kemuhammadiyahan, membuat ia menjadi seorang pandu yang soleh.
O ya, satu hal lagi… ini lumayan penting… sebagai seorang remaja, ia juga gemar berolahraga. Salah satunya, sepakbola. Sudirman bergabung dengan klub sepakbola Cilacap yang cukup disegani ketika itu. Nama kesebelasannya, “Banteng Muda”. Sudirman-lah yang berperan sebagai central-defender sekaligus penyandang ban kapten.
Tiba pada suatu saat, Sudirman harus berhenti sekolah, karena HIS Taman Siswa tempat ia sekolah, ditutup pemerintah Hindia Belanda. Oleh gurunya, dia disarankan masuk ke MULO Wiworotomo, sekolah yang didirikan oleh R. Sumoyo Kusumo yang termasuk pendiri Boedi Oetomo. Nah, di sekolah inilah bibit-bibit nasionalisme Sudirman muda tumbuh subur.
Selain R. Sumoyo, masih ada dua guru lagi yang berpengaruh bagi Sudirman. Mereka adalah R. Suwarjo TIrtosupono, alumni sekolah militer Breda, Belanda yang tidak bersedia masuk KNIL dan lebih memilih aktif di pergerakan. Serta satu guru lainnya, R. Moh. Kholil, tokoh Muhammadiyah Cilacap.
Nah, dari mereka bertiga pula, Sudirman tahu, ihwal rencana kedatangan Bung Karno ke Cilacap, untuk berpidato dalam sebuah forum pemuda. Benar, Bung Karno memiliki jaringan pergerakan hampir di semua daerah, tak terkecuali di Cilacap.
Syahdan, selepas dari penjara Sukamiskin tahun 1931, Bung Karno dan Gatot Mangkupraja melakukan perjalanan darat ke Jawa Tengah dan Yogyakarta. Dalam kesempatan itulah Bung Karno singgah di berbagai kota yang dilaluinya, antara lain Cilacap.
Inilah momentum untuk pertama kalinya, Sudirman “bertemu” Bung Karno, tepatnya “melihat” Bung Karno secara langsung, dan mendengarkan orasinya. Penggalan sejarah ini cukup menarik, atau tepatnya unik. Sebab, Sudirman tidak serta merta bisa masuk ke arena perkumpulan di mana Bung Karno akan berpidato.
Soalnya tak lain, karena usia Sudirman yang tergolong masih anak-anak (sekitar 15 tahun). Alkisah, saat dia hendak masuk ke gedung pertemuan, petugas keamanan melarang, dan menyuruhnya pulang, karena dinilai belum cukup umur.
Keinginan yang menggebu untuk bisa mendengarkan pidato Bung Karno, membuat Sudirman tak menyerah. Ia pulang ke rumah, melepas celana pendek dan mengambil celana panjang bapaknya. Bukan itu saja, ia juga mengganti sandal dengan bakiak tinggi. Nah, dengan celana panjang, plus bakiak tinggi, tampilan Sudirman memang tampak lebih dewasa.
Walhasil, ketika dia kembali ke gedung pertemuan, petugas jaga tidak lagi melarang, dan membiarkan Sudirman masuk dan diizinkan mengikuti ceramah Bung Karno. Sudiran pun tenggelam di tengah lautan pemuda Cilacap, tenggelam di tengah samudera kata-kata membara Bung Karno. Jiwa patriot itu pun makin menggumpal. (roso daras)

Dokumentasi BK

Foto-Foto Lawas Bung Karno (yang Jarang Dilihat Orang)

Bulan Juni dinyatakan sebagai bulan Pancasila, karena hari lahir Pancasila adalah pada tanggal 1 Juni. Orang yang berperan besar dengan kelahiran dasar negara itu adalah Presiden RI pertama, Soekarno. Bagi anda yang mengagumi Soekarno (kalau saya pribadi sih biasa-biasa saja), saya mendapat kiriman dari sebuah milis foto-foto lawas Bung Karno yang jarang dilihat orang. Nah, saya bagikan foto ini agar dapat dinikmati khalayak. Sayang sekali foto ini hanya berbicara peristiwa, namun tidak ada informasi kapan peristiwa tesrebut berlangsung. Bila melihat foto-foto itu memang benar jika Soekarno adalah Orang Besar yang pernah hidup di zamannya.
1. Bung Karno berpidato di depan kongres kaum buruh

2. Bung Karno mencium putrinya. Hmm… siapa yang diciumnya itu? Apakah Sukmawati? Kalau yang paling kiri jelas itu Megawati. Megawati cantik sekali waktu masih gadis. Semua anak Bung Karno memang cantik-cantik dan tampan.

3. Bung Karno dan Presiden AS yang terkenal, John F. Kennedy

4. Masih dengan John F. Kennedy, di Washington

5. Bung Karno dengan bintang Hollywood. Marylin Monroe kah?

6. Kunjungan ke Bandung dengan istrinya Bu Fatwamati dan seorang tamu asing. Siapa dia? (sepertiya dari Srilanka/India)

7. Bung Karno, istri, dan anaknya. Guntur? Guruh?

8. Bung Karno memperoleh gelar kehormatan dari sebuah Universitas di luar negeri. Universitas apakah itu?

9. Bung Karno dan Kaisar Jepang, Hirohito

10. Bung Karno, disamping seorang pemimpin besar, dia rupanya seorang “pemuja” wanita. Istrinya lebih dari satu. Ini adalah pernikahannya dengan wanita Jepang, Ratna Sari Dewi.

11. Soekarno tua. Inilah wajah Soekarno tanpa peci khasnya.

12. Pemakaman Soekarno di Blitar