Bung Karno Sang Proklamator, Sang Pemersatu
bangsa, Sang Penggali Pancasila. Berikut sedikit kisah mengenai saat
terakhir masa hidup beliau dari berbagai sumber tidak banyak anak bangsa
mengetahui. Bung Karno, di akhir hayatnya sangat nista. Ia dinista
oleh penguasa ketika itu. Ia sakit, dan tidak mendapat perawatan yang
semestinya bagi seorang Proklamator Kemerdekaan Republik Indonesia
sekaligus tokoh pemersatu bangsa. Bahkan untuk sekadar bisa menghirup
udara Jakarta (dari pengasingannya di Bogor), ia harus menulis surat
berkali-kali kepada Soeharto.
Foto eksklusif Bung Karno terbaring sakit, rapuh.
Mengenang hari-hari terakhir Bung Karno, saya sengaja menuis kisah
sedih yang dipaparkan Reni Nuryanti dalam bukunya Tragedi Sukarno, Dari
Kudeta Sampai Kematiannya. Harapannya, kita semua bisa berkaca dari
sejarah. Detail kisah mengharu biru, dari praktik-praktik biadab aparat
militer ketika itu kepada Bung Karno selama hidup dalam “kerangkeng”
Orde Baru di Wisma Yaso, cepat atau lambat akan tersebar. Hari-hari
terakhir Bung Karno ini, saya penggal mulai dari peristiwa tanggal 16
Juni 1970 ketika Bung Karno dibawa ke RSPAD (Rumah Sakit Angkatan Darat
Gatot Subroto). Ia dibawa pukul 20.15, harinya Selasa. Ada banyak versi
mengenai peristiwa ini. Di antaranya ada yang menyebutkan, Sukarno
dibawa paksa dengan tandu ke rumah sakit. Hal itu ditegaskan oleh Dewi
Sukarno yang mengkonfirmasi alasan militer, bahwa Bung Karno dibawa ke
RS karena koma. Dewi mendapat keterangan yang bertolak belakang. Waktu
itu, tentara datang membawa tandu dan memaksa Bung Karno masuk tandu.
Tentara tidak menghiraukan penolakan Bung Karno, dan tetap memaksanya
masuk tandu dengan sangat kasar. Sama kasarnya ketika tentara mendorong
masuk tubuh Bung Karno yang sakit-sakitan ke dalam mobil berpengawal,
usai menghadiri pernikahan Guntur. Bahkan ketika tangannya hendak
melambai ke khalayak, tentara menariknya dengan kasar.
Adalah Rachmawati, salah satu putri Bung Karno yang paling intens
mendampingi bapaknya di saat-saat akhir. Demi mendengar bapaknya dibawa
ke RSPAD, ia pun bergegas ke rumah sakit. Betapa murka hati Rachma
melihat tentara berjaga-jaga sangat ketat. Hati Rachma mengumpat, dalam
kondisi ayahandanya yang begitu parah, toh masih dijaga ketat seperti
pelarian. “Apakah bapak begitu berbahaya, sehingga harus terus-menerus
dijaga?” demikian hatinya berontak. Dalam suasana tegang, tampak Bung
Karno tergolek lemah di sebuah ruang ujung becat kelabu. Tak ada
keterangan ruang ICU atau darurat sebagaimana mestinya perlakuan
terhadap pasien yang koma. Tampak jarum infus menempel di tangannya,
serta kedok asam untuk membantu pernapasannya. Untuk menggambarkan
kondisi Sukarno ketika itu, simak kutipan saksi mata Imam Brotoseno,
“Lelaki yang pernah amat jantan dan berwibawa –dan sebab itu banyak
digila-gilai perempuan seantero jagad, sekarang tak ubahnya bagai
sesosok mayat hidup. Tiada lagi wajah gantengnya. Kini wajah yang
dihiasi gigi gingsulnya telah membengkak, tanda bahwa racun telah
menyebar kemana-mana. Bukan hanya bengkak, tapi bolong-bolong bagaikan
permukaan bulan. Mulutnya yang dahulu mampu menyihir jutaan massa dengan
pidato-pidatonya yang sangat memukau, kini hanya terkatup rapat dan
kering. Sebentar-sebentar bibirnya gemetar menahan sakit. Kedua
tangannya yang dahulu sanggup meninju langit dan mencakar udara, kini
tergolek lemas. Hari kedua, 17 Juni 1970, Sukarno tampak lebih baik dari
hari sebelumnya. Tapi, ia tidak mau makan. Bahkan, obat-obatan yang
diberikan dokter pun enggan meminumnya. Setiap kali dokter hendak
memberi suntikan pun, Bung Karno selalu menolak. Rachmawati menerka,
Bung Karno mengetahui bahwa semua pengobatan selama ini hanya untuk
memperlemah dirinya. Dalam kacamata politik, pengobatan dengan misi
pembunuhan. Karenanya, kondisi Sukarno makin lemah dari hari ke hari.
Hingga
saat itu Rachma berani bertanya kepada tim dokter yang merawat, dalam
hal ini ia bertanya kepada Ketua Tim Dokter yang merawat Bung Karno,
yakni Prof Mahar Mardjono, “Mengapa sakit komplikasi yang diderita bapak
dibiarkan begitu saja. Mengapa tidak dilakukan cuci darah?” Mahar hanya
menjawab sambil lalu, sehingga Rachma berkesimpulan, dokter-dokter itu
tidak benar-benar merawat Sang Proklamator Bangsa. Bahkan, para dokter
tampak tak punya rasa iba sedikit pun. Lebih sakit hati Rachma ketika dr
Mahar mengatakan, “Alat itu sedang dipesan dari Inggris, dan belum
tentu ada. Kalaupun ada, kapan datangnya, tidak tahu.” Keterangan Mahar
ini, di kemudian hari dibenarkan anggota dokter lain, “Sebenarnya sudah
lama, tim dokter telah mengusulkan agar alat itu dibeli. Tapi alat itu
tak kunjung datang meski pembeliannya kabarnya telah dijajaki di
Singapura dan Inggris.” Dan akhirnya, anggota tim dokter itu
menambahkan, “jangan-jangan memang sengaja tidak dibeli….”
Bung Karno, Bapak Bangsa yg gagah dan berwibawa
Dalam keterangan lain, situasi saat itu memang membuat tim dokter
yang dipimpin Mahar Mardjono tak berdaya. Ada kekuatan besar yang bisa
mengancam nyawa mereka seandainya mereka bekerja di luar kendali
penguasa. Karenanya dalam suatu kesaksian terungkap, saat kondisi Bung
Karno kritis, Prof dr Mahar Mardjono sempat menuliskan resep khusus,
namun obat yang diresepkannya itu disimpan saja di laci oleh dokter yang
berpangkat tinggi. Mahar mengemukakan hal itu kepada rekannya, dr
Kartono Mohammad. Kesaksian datang dari saksi lain yang juga mantan
pejabat di era Sukarno. Menurutnya, adalah fakta bahwa Sukarno
ditelantarkan oleh Soeharto pada waktu sakit. Saksi yang juga seorang
purnawirawan tinggi militer itu juga mengungkapkan, perlakuan yang
seragam terhadap Sukarno berasal dari sebuah instruksi, “Yang memberi
instruksi adalah Soeharto,” katanya
Satu hari bernama tanggal 18, mungkin hanya bermakna 24 jam. Satu
hari berikutnya yang bernama tanggal 19 Juni 1970, adalah bilangan 1440
menit, 86.400 detik. Tapi semua itu adalah tusukan duri bagi Sukarno
yang tengah tergolek lemah. Sedangkan tanggal 20 Juni, tercatat sebagai
simbol dwitunggal yang terpatri abadi. Sejarahlah yang berkuasa pada
hari itu. Bung Hatta, datang menjenguk sahabat seperjuangan. Sementara,
Bung Karno, seperti diberi kekuatan untuk menyaksikan kedatangan Sang
Hatta. Maka, terjadilah pertemuan yang mengharu-biru, seperti dikisahkan
Meutia Hatta dalam bukunya: Bung Hatta: Pribadinya dalam Kenangan.
Berkata lirih Sukarno kepada Hatta, “Hatta… kau di sini….? Seperti
diiris-iris hati Hatta melihat sahabatnya tergolek tanpa daya. Demi
memompa semangat kepada sahabat, wajah teduh Bung Hatta menampakkan raut
yang direkayasa, “Ya… bagaimana keadaanmu, No?” begitu Hatta membalas
sapaan lemah Karno, dengan panggilan akrab yang ia ucapkan di awal-awal
perjuangan. Hatta memegang lembut tangan Bung Karno. Bung Karno
melanjutkan sapaan lemahnya, “Hoe at het met jou…” (Bagaimana
keadaanmu?) Hatta benar-benar tak kuasa lagi merekayasa raut teduh.
Hatta benar-benar tak kuasa menahan derasnya arus kesedihan demi
mendengar sahabatnya menyapanya dalam bahasa Belanda, yang
mengingatkannya pada masa-masa penuh nostalgi. Apalagi, usai
berkata-kata lemah, Sukarno menangis terisak-isak. Lelaki perkasa itu
menangis di depan kawan seperjuangannya. Seketika, Hatta pun tak kuasa
membendung air mata. Kedua sahabat yang lama berpisah, saling berpegang
tangan seolah takut terpisah. Keduanya bertangis-tangisan. “No…” Hanya
kata itu yang sanggup Hatta ucapkan, sebelum akhirnya meledak tangis
yang sungguh memilukan. Bibirnya bergetar menahan kesedihan, sekaligus
kekecewaan. Bahunya terguncang-guncang karena ledakan emosi yang
menyesakkan dada, yang mengalirkan air mata. Keduanya tetap berpegangan
tangan. Bahkan, sejurus kemudian Bung Karno minta dipasangkan kacamata,
agar dapat melihat sahabatnya lebih jelas. Selanjutnya, Bung Karno hanya
diam. Mata keduanya bertatapan… mereka berbicara melalui bahasa mata.
Sungguh, ada sejuta makna yang tertumpah pada sore hari yang bersejarah
itu. Selanjutnya, Bung Karno hanya diam. Diam, seolah pasrah menunggu
datangnya malaikat penjemput, guna mengantarnya ke swarga loka, terbang
bersama cita-cita yang kandas di tangan bangsanya sendiri.
Hari-hari Terakhir Bung Karno, Siapa yang tak murka, demi mengetahui
bahwa selama kurang lebih 1,5 tahun “dikerangkeng” di Wisma Yaso, Bung
Karno, mantan Presiden Republik Indonesia, tokoh pemersatu dan
proklamator bangsa, ternyata hanya diserahkan perawatannya secara penuh
kepada dr Soeroyo. Siapakah dokter Soeroyo? Dia bukanlah dokter
spesialis, melainkan dokter hewan! Ia masuk-keluar Wisma Yaso dengan
perawat-perawat yang tidak jelas didatangkan dari mana. Bahkan
obat-obatan yang dicekokkan ke Bung Karno pun sama sekali tidak tepat.
Ia hanya memberinya duvadilin (mencegah kontraksi ginjal), metadone
(penghilang rasa sakit), royal jeli, suntikan vitamin B1 dan B12, serta
testoteron. Selain itu, Sukarno tiap malam juga minum valium. Tiap malam
minum valium selama tahunan, tentu saja membuat tidurnya tak lagi
terkontrol. Akibatnya Sukarno mulai sering merasakan pusing. Setiap itu
pula, perawat memberinya obat pengurang rasa sakit, novalgin. Perawatan
yang sembrono juga sering terjadi, ketika Bung Karno terbangun tengah
malam dan muntah darah, dokter Soeroyo hanya memberinya vitamin.
Sementara, dokter Mahar Mardjono yang disebut-sebut sebagai ketua tim,
sama sekali tidak pernah hadir ke Wisma Yaso. Itu semua terungkap dalam
dokumen yang lebih 27 tahun tersimpan oleh Siti Khadijah, yang tak lain
adalah istri dokter Soeroyo. Benar adanya, bahwa sejarah pada akhirnya
akan mengalir menemukan jalan kebenarannya sendiri. Benar pula, bahwa
ada kecenderungan yang seolah tersusun rapi, tentang “pembunuhan”
terhadap Sukarno. Tidak banyak cerita, tanggal 21 Juni 1970, pukul 07.00
WIB, Bung Karno menghembuskan nafas terakhirnya. Adalah dr Mahar
Mardjono, satu-satunya orang yang menyaksikan “kepergian” Putra Sang
Fajar.
Keterangan yang ia kemukakan, “Pada hari Minggu, 21 Juni 1970, pukul
04.00 pagi, Bung Karno dalam keadaan koma. Saya dan dokter Sukaman terus
berada di sampingnya. Menjelang pukul 07.00 pagi, dr Sukaman sebentar
meninggalkan ruangan rawat. Saya sendiri berada di ruang rawat bersama
Bung Karno. Bung Karno berbaring setengah duduk, tiba-tiba beliau
membuka mata sedikit, memegang tangan saya, dan sesaat kemudian Bung
Karno menghembuskan nafas yang terakhir.” Tak lama berselang, keluarlah
komunike medis:
1. Pada hari Sabtu tangal 20 Juni 1970 jam 20.30 keadaan kesehatan
Ir. Sukarno semakin memburuk dan kesadaran berangsur-angsur menurun.
2. Tanggal 21 Juni 1970 jam 03.50 pagi, Ir Sukarno dalam keadaan
tidak sadar dan kemudian pada jam 07.00 Ir Sukarno meninggal dunia.
3. Team dokter secara terus-menerus berusaha mengatasi keadaan kritis
Ir Sukarno hingga saat meninggalnya. Komunike itu ditandatangai Ketua
Prof Dr Mahar Mardjono, dan Wakil Ketua Meyjan Dr (TNI-AD) Rubiono
Kertopati. Sementara itu, Syamsu Hadi suami dari Ratna Juami, anak
angkat Bung Karno dan Inggit Ganarsih yang melihat jenazah Bung Karno
melukiskan dengan baik, “Wajah almarhum begitu tenang. Seperti orang
tidur saja nampaknya. Mata tertutup baik. Alis tebal tidak berubah, sama
seperti dulu.”
Rakyat Indonesia dari penjuru Tanah Air, berjubel, tidak saja di
sekitar Wisma Yaso tempat jenazah Bung Karno disemayamkan, tetapi juga
di Blitar, Jawa Timur, tempat jazad Bung Karno dikebumikan. Seperti
pengalaman pribadi mantan ajudan Bung Karno, Bambang Widjanarko. Ia
merasa bagai tersambar petis demi mendengar kematian tokoh bangsa yang
delapan tahun ia layani. Bambang yang ketika Bung Karno wafat sudah
menjabat sebagai Asisten Kepala Personil Urusan Militer Mabes TNI-AL
itu, bergegas menuju Wisma Yaso. Wisma Yaso yang sejak siang sudah
dijejali kerumunan rakyat yang hendak melayat, tidak juga surut hingga
malam hari. Bambang pun masuk dalam antrian pelayat, yang berjalan
menuju ruang tengah Wisma Yaso setapak demi setapak. Suasana ketika itu
dilukiskan sebagai sangat mengharukan. Tidak terdengar percakapan,
kecuali isak tangis, dan bisik-bisik pelayat. Di sudut ruang, masih
tampak kerabat dan pelayat yang tak kuasa menahan jeritan hati yang
mendesak di rongga dada, hingga tampak tersedu-sedu. Tiba di dekat peti
jenazah, Bambang melantunkan doa, “Ya Tuhan, Engkau telah berkenan
memanggil kembali putraMu, Bung Karno. Terimalah kiranya arwah beliau di
sisiMu. Sudilah Engkau mengampuni segala dosa-dosanya dan berkenanlah
Engkau menerima segala tekad dan perbuatannya yang baik. Engkau Mahatahu
ya Tuhan, dan Engkaulah Mahakuasa, aku mohon kabulkanlah doaku ini.
Amin” Segera setelah usai berdoa, Bambang menuju kamar lain, tempat
keluarga BK berkumpul. Di sana tampak Hartini, Dewi, Guntur, Mega,
Rachma, Sukma, Guruh, Bayu, dan Taufan. Mereka pun saling berangkulan.
Sejurus kemudian, Sekmil Presiden, Tjokropranolo mendekati Bambang dan
berkata, “Mas Bambang, kami mohon sedapatnya bantulah kami dalam menjaga
dan melayani keluarga BK yang saat ini amat sedih dan emosional.”
Bambang segera menukas, “Baik, tapi toong sampaikan hal ini kepada
KSAL.” Begitulah. Bambang sejak itu tak pernah jauh dari keluarga Bung
Karno. Baginya, inilah bhakti terakhir yang dapat ia persembahkan bagi
Bung Karno. Bambang juga berada di mobil bersama keluarga Bung Karno
dalam perjalanan dari Wisma Yaso ke Halim, dari Halim terbang ke Malang,
dan dari Malang jalan darat dua jam ke Blitar. Di situ, ia melihat
rakyat berjejal di pinggir jalan, menangis menjerit-jerit, atau diam
terpaku dengan air mata bercucuran. Bambang yang duduk dekat Rachma tak
kuasa menahan haru demi melihat begitu besar kecintaan rakyat kepada
Bung Karno. Ia pun berkata pelan kepada Rachma, “Lihatlah, Rachma,
rakyat masih mencintai Bung Karno. Mereka juga merasa kehilangan. Jasa
bapak bagi nusa dan bangsa ini tidak akan terlupakan selamanya.” Rachma
mengangguk. Pemandangan yang sama tampak di Blitar hingga ke areal
pemakaman. Ratusan ribu rakyat sudah menunggu. Bahkan militer harus
ekstra ketat menjaga lautan manusia yang ingin merangsek mendekat,
melihat, menyentuh peti jenazah Bung Karno. Sementara itu, upacara
pemakaman dengan cepat dilaksanakan. Panglima TNI Jenderal M. Panggabean
menjadi inspektur upacara mewakili Pemerintah Republik Indonesia.
Prosesi pemakaman berlanjut. Peti jenazah pelan-pelan diturunkan ke
liang kubur. Tak lama kemudian, liang kubur mulai ditutup timbunan
tanah… saat itulah meledak tangis putra-putri Bung Karno, yang kemudian
sisusul ledakan tangis pelayat yang lain di sekitar makam. Bambang
Widjanarko merasa hancur hatinya demi melihat penderitaan anak-anak Bung
Karno ditinggal pergi bapaknya untuk selama-lamanya. Tanpa terasa, air
mata Bambang mengalir lagi di pipi. Akhirnya, selesailah upacara
pemakaman Bung Karno yang berlangsung sederhana tetapi khidmat. Acara
pun ditutup tanpa menunggu selesainya peletakkan karangan bunga. Meski
rombongan resmi sudah meninggalkan makam, tetapi ribuan manusia tak
beranjak. Bahkan aliran peziarah dari berbagai penjuru negeri, terus
mengalir hingga malam. Mereka maju berkelompok-kelompok, meletakkan
karangan bunga atau menaburkan bunga lepas di tangannya, kemudian
berjongkok, atau duduk memanjatkan doa, menangis di dekat pusara Bung
Karno.
Malam makin gelap, tetapi sama sekali tak menyurutkan lautan manusia
mengalir menuju makam Bung Karno. Makin malam, makin gelap, tampak makin
khusuk mereka bedoa. Ratusan orang meletakkan karangan bunga, ratusan
orang menabur bunga lepas, tetapi puluhan ribu pelayat pergi membawa
segenggam bunga. Alhasil, karangan bunga dan taburan bunga yang
menggunung si sore hari, telah habis diambil peziarah lain selagi
matahari belum lagi merekah di ufuk timur. Habis bunga, peziarah
berikutnya menjumput segenggam tanah di pusara Bung Karno, dan
dimasukkan saku celana. Tak ayal, tanah menggunduk di atas jazad Bung
Karno pun menjadi rata. Inilah dalam ritual Jawa yang disebut “ngalap
berkah”. Seorang pelayat, dan ia adalah rakyat biasa, berkata, “Bung
Karno adalah seorang pemimpin besar, Pak. Kami rakyat, sangat
mencintainya. Sebagai kenangan saya bawa pulang sedikit bunga ini.”
Begitulah, karangan bunga, taburan bunga, bahkan gundukan tanah pun
dijumput para peziarah. Yang tampak keesokan harinya, 23 Juni 1970
adalah pusara berhias tanah merah.
Cerita tak cukup sampai disini, bahkan terhitung dari sekitar tahun
1971-1979 pemerintah dalam hal ini atas perintah presiden soeharto
menutup areal makam Bung Karno, bila ingin berziarah harus seizin kepala
korem diblitar serta area makam dijaga ketat selama 24 jam secara
bergantian oleh tentara. Menurut kesaksian seoarang peziarah ygy pernah
berkunjung kala itu harus meminta surat izin kepada kepala korem &
itupun tdk mudah. Soehrato benar-benar ingin membuang/menyingkirkan
jauh-jauh Bung Karno dari rakyat Indonesia sebelum & sesudah beliau
wafat, dengan izin mengunjungi makam Bung karno yg tdk mudah tersebut
sangat mustahil bagi kalangan rakyat biasa bias berkunjung/berziarah.
Bahkan menurut kesaksian beberapa orang yg pernah berziarah dengan
mendapat surat izin, sesampainya mereka diarea komplek makam banyak
rakyat yg mengikuti dibelakan mereka agar dapat masuk ke makam Bung
karno bahkan ada yg rela menginap berhari-hari demi menunggu kesempatan
seperti itu datang karena susahnya masuk ke makam Bung Karno. Apalagi
kita ketahui bersama bahwa tempat pemakaman Bung Karno diblitar bukan
keputusan keluarga Bung Karno melainkan keputusan sepihak pemerintah
kala itu yaitu keputusan presiden soeharto. Toh,pada akhirnya orang
yang dulu mendzalimi bung karno, Presiden Soeharto diakhir hayatnya juga
mendapatkan azab yang sama sebelum dia mati..Seperti pesan terakhir
Bung Karno : Siapa menabur angin, Dia akan menuai badai